Sekalipun Rasa Ini Telah Saling Memeluk, Pada Akhirnya Takdir adalah Algojonya

Meski rasa telah saling memeluk

Malam tampak lebih kelam sebab paham harapan pupus namun mata masih tak mampu memejam. Nyeri di ulu hati, sisa air mata di pipi, tangis yang belum hendak berhenti serta gerimis menjadi kombinasi mematikan yang sungguh tak diinginkan hati.

Advertisement

Sakit yang dianggap paling sakit sebab bukan karena bertepuk sebelah tangan cintanya. Namun karena keadaan yang menjadikan sepasang insan dengan perasaan sama tapi tak bisa bersama.

"Aku nggak mau kamu pergi, tolong" ucapnya sambil terus mengeratkan genggaman di tanganku.

Bulir air mata yang bermenit-menit lalu setengah mati ditahan dan diharapkan tak jatuh pun menetes. Pertahanan jebol. Tembok ketegaran pun runtuh. Iya, aku menangis. Air mata yang sekuat tenaga kutahan supaya tetap tinggal di dalam kelopak mata pun mulai bercucuran.

Advertisement

Sambil terisak dan tetap memaksakan agar tidak terlalu tersedu-sedu aku berkata padanya "Aku juga tidak mau pergi, mas. Kamu tau persis itu. Tapi aku harus. Visa, paspor dan sebagainya sudah jadi. Tinggal nunggu dikabarin waktu berangkat aja."

Aku membalas genggamannya. Mengelus lembut punggung tangannya.

Advertisement

Tangan itu. Erat menggenggam tanganku. Seperti tak ingin dilepaskannya. Layaknya seorang laki-laki yang tak ingin kehilangan perempuan tempat hatinya tertambat.

Di bawah alis yang hampir bertaut itu ada mata yang tajam namun teduh, di situ tersirat betapa dia sungguh-sungguh memupuk perasaannya untukku.

Genggaman tangannya, hangat, membuat tenang, aku sama sekali tak berencana ingin melepasnya.

Sedalam apapun rasa kita berdua. Sebetapapun rindu kita saling memeluk, takdir tetap jadi algojo dan juri kehidupan. Penentu apakah dua sejoli harus disatukan atau hanya dipertemukan tanpa diijinkan bersama.

Sepertiku dan dia, saat ini.

Mimpi untuk melanjutkan studi di negeri orang disambut baik oleh semesta. Cita-cita yang selama ini hanya menjadi angan perlahan mulai diwujudkan. Rupanya Tuhan memberiku kesempatan.

Namun di saat yang bersamaan, hatiku jatuh. Hatiku tertambat. Pada laki-laki sederhana pemilik tatapan teduh. Pada laki-laki sederhana pemilik suara berat yang menenangkan setiap indera pendengar lawan bicaranya. Pada laki-laki sederhana. Laki-laki biasa, namun dia luar biasa.

Setidaknya untuk sisa kehidupan yang selama ini hanya kuhabiskan untuk mengejar materi dan ketidakjelasan tujuan. 

Kepadanyalah aku takluk. Kepadanyalah hatiku tunduk. Karena dialah sebenar-benar bahagia kutemukan. Kurasakan.

Setiap dengannya, hilang setiap hampa yang sering merundung jiwa.

Setiap bersamanya, 24 jam dalam sehari pun tak akan cukup dirasa demi mendengar cerita demi cerita.

Setiap bersamanya, aku selalu berharap waktu tidak terlalu tergesa detaknya.

Kata orang, cinta sering hadir hanya untuk mendatangkan bahagia yang tidak permanen, lalu selebihnya membuat sakit. Mungkin itu ungkapan yang paling kusetujui saat ini. Merasakan bahagia yang hanya sekejap sebab tak lama lagi aku harus pergi mengejar mimpi. Pergi, jauh, dan meninggalkannya.

Sungguh bukanlah pilihan untuk menyandingkan antara studi dan cintaku.

"Aku tetap harus pergi…" sambungku.

"Tapi aku sayang kamu, katamu kita akan lewatin apa aja bareng? berdua?" balasnya.

"Ini bukan pilihan, mas. Tolong mengertilah," aku sudah tak kuasa lagi menahan gengsi untuk tidak menangis tersedu-sedu. Tangisku tumpah. Setumpah-tumpahnya.

Dia menarik tubuhku ke dadanya. Ke pelukannya. Dieratkannya pelukan itu dengan lembut.

Sempat kulihat matanya berair. Mungkin dia juga sedang sekuat tenaga menahan.

"Aku sayang kamu, shof. Sungguh".

"Aku juga."

"Kenapa baru sekarang kita didekatkan? Ketika di saat yang bersamaan kamu harus pergi dan lepas dari jangkauan. Jauh dari rengkuhan?" tambahnya.

"Menurutmu aku bisa men-setting waktu kapan pengumuman scholarship itu muncul, mas?" aku semakin menangis.

Hatiku sakit. Ulu hatiku nyeri membayangkan aku harus pergi meninggalkan seorang lelaki yang sedang aku cintai dalam-dalam.

Dia diam. Membisu. Tak berkata apa-apa lagi. Dilepaskannya pelukannya setelah mengusap air mata di pipiku. "Sudah ya? Berhenti nangis. Maafkan aku sudah egois. Iya kamu bener. Kamu harus pergi. Kejar mimpimu" katanya.

Dilepaskannya pelukan kita. Lalu tersenyum. Dia menatapku dengan tatapan getir. Entah apa makna di balik tatapannya yang tak biasa itu.

Lalu dia membalikkan badan, memunggungiku. Melanjutkan langkahnya. Pergi.

Meninggalkanku yang masih terpaku. Diam membisu.

Gerimis mulai turun. Dingin. Sunyi. Sepi.

Tanpa suara. Tersisa air mata.

Matamu, laut. Di dalamnya aku tenggelam.

Suaramu, ombak. Di dalamnya aku tergulung.

Genggamanmu, pusaran air. Di dalamnya aku terjebak. Tak rela lepas.

Bersamaan dengan hembus angin pantai dan matahari yang hampir mengucapkan selamat tinggal tuk menutup hari ini, kuucapkan jaga diri baik-baik, kamu.

Doaku selalu membersaimu dalam terjaga maupun lelap.

Sampai jumpa, samuderaku…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat keju. Penggila kafein. Penyuka hujan. Pecandu laut, dan kamu.

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE