[CERPEN] Pengendali Api

Menjauh bukan karena tak suka namun menjaga agar tak ada yang terluka

"Kamu pembunuh!"

Advertisement

"Dasar bocah monster!"

"Tega kamu membakar ayah kandung kamu sendiri!"

Aku meringkuk di atas tempat tidur dengan tubuh bermandikan peluh. Mimpi itu datang lagi, mimpi yang selalu membuatku menahan kantuk saat malam tiba. Mimpi di mana ibu tiriku memaki dan mencaci tanpa berani menyentuh, aku tahu dia takut padaku. Dia takut bernasib sama seperti ayahku yang mati terpanggang karena ulahku.

Advertisement

Saat itu usiaku sepuluh tahun dan tak seorangpun percaya jika aku-lah yang telah membunuh ayahku. Berawal dari caci maki ibu tiriku, yang kemudian menjadi langganan cerita dari bibir ke bibir, hingga semua orang di kotaku memanggil dengan nama anak pembawa sial, seorang monster.

"Hei kalian, jangan berteman dengannya. Dia anak yang aneh, kata orang-orang dia akan membakarmu jika kamu mengganggunya."

Advertisement

"Benarkah?"

"Tentu saja benar! Bahkan ayahnya meninggal dalam keadaan terpanggang karena ulahnya."

"Tapi dia hanyalah anak kecil yang tak tahu apa-apa…"

"Bukan! Dia bukan anak kecil, dia monster!"

***

Aku semakin melengkungkan tubuh hingga lutut menyentuh dagu. Tubuhku menegang setiap mengingat semua umpatan orang-orang di sekelilingku. Umpatan dan cacian mereka selalu mengikuti masa kecilku dan senantiasa membayangi kehidupanku hingga sekarang.

Menghindar jauh lebih baik, hanya itu yang terpikirkan, aku memutuskan pindah ke Jogja setelah lulus SMA. Berbekal dengan warisan dari ayah yang kembali lagi membuat ibu tiriku murka karena melalui wasiatnya, ayah memberikan hampir seluruh asetnya padaku dan hanya memberikan seperdelapan pada ibu tiriku.

Aku, Maeza Adzkia. Perempuan yang memiliki sisi lain yang bahkan diriku sendiri tak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.

***

"Echa …" lelaki itu mensejajari langkahku menyusuri koridor kampus. Kenapa dia tahu nama kecilku? Aku bahkan tak mengenalinya sama sekali. Kuhentikan langkahku, pun lelaki itu. Dia mengulurkan tangan, mengajakku berkenalan. "Hai, Cha. Gue Daffa."

Nampak raut kecewa tercetak di wajah saat uluran tangannya tak bersambut.

Kuhanya bergeming, menatapnya dengan raut tak suka. Yah, aku tak suka jika seseorang mendekatiku. Sejak awal kuliah hingga tahun kedua ini, pergaulan memang ku-batasi. Tak memberi celah kepada siapapun untuk masuk. Semua kulakukan untuk kebaikan mereka karena tak ingin ada yang terluka.

"Lo ada kuliah, kan? Bareng yuk," Seolah tak mengindahkan raut wajahku, Daffa malah menggamit tanganku, berusaha menautkan jemari.

Kaget? Pastinya. Dia lelaki pertama yang begitu berani menyentuhku. Dan sungguh, itu sangat tak nyaman. Kusentakkan tangannya hingga genggaman itu terlepas.

"Jangan sentuh! Aku enggak suka," ujarku dengan sedikit membentak, lalu melangkah meninggalkannya. Aku tak pernah ber-Lo Gue seperti dia. Ayah selalu mengajarkanku untuk menjaga bahasaku.

Sejenak dia termangu, lalu berlari kecil menyusulku. "Maaf," sesalnya, lirih tapi masih dapat kudengar.

Aku tahu jika ia masih mengikutiku, sampai di kelas pun langkahnya tetap mengekoriku. Aku tak perduli, segera mengambil posisi untuk duduk paling depan. Lelaki itu berjalan melewati dan duduk tepat di belakangku. Aku berbalik menatapnya tajam, kenapa dia ikut masuk? Apa yang diinginkannya dariku?

"Jangan salah sangka, gue juga ikut kelas ini," ujarnya balas menatapku, seulas senyum tercetak di bibirnya. Aku tertegun sejenak, kembali berbalik menghadap ke depan kelas menyembunyikan rona merah yang sempat muncul.

Senyumnya manis sekali.

***

"Mau sampai kapan Lo ngejauhin gue, Za?" Langkahku kembali terhenti. Lelaki ini tak pernah lelah mendekatiku sejak ia memperkenalkan diri sekitar tiga bulan yang lalu.

"Harus berapa kali aku harus ngomong ke kamu? Aku enggak suka!"

"Kenapa, Cha? Salah gue di mana? Gue hanya ingin berteman." Lirih sekali. Kenapa hatiku jadi sakit mendengarnya?

Tanpa menjawab, aku bermaksud meninggalkannya. Sekali lagi langkahku terhenti karena cekalan tangan milik lelaki itu ada di lenganku.

"Lepas!"

Ya, Tuhan! Tanpa sadar aku membentaknya.

"Enggak! Gue mau dengar alasannya. Kenapa Lo selalu menjauh dari semua orang, Cha?" tanya Daffa dengan nada menuntut.

Kuyakin kali ini Daffa tak akan melepasku tanpa kejelasan. Aku mencoba beringsut mundur, kelapaku mendadak pening. cekalannya semakin kuat membuatku semakin tersudut tak bisa melakukan apa-apa.

Dan tiba-tiba, setelah sepuluh tahun berlalu, api itu muncul kembali, membakar jaket yang dikenakan Daffa.

Cekalannya pun terlepas. Dengan panik Daffa melepas jaket dan membuangnya ke sembarang arah. Lelaki itu berlari secepat yang ia bisa mencari APAR dari gedung perkuliahan terdekat. Daffa berhasil memadamkan api sebelum semakin besar dan menarik perhatian banyak orang.

Dan aku? Hanya mematung, menatap nanar jaket yang mulai menghitam dilalap api.

"Siang ini terik banget kali, ya? Api muncul tiba-tiba gitu. Lo enggak papa kan, Cha?" Aku mengangguk, Air mataku tumpah tak terbendung lagi. Daffa mendekatiku, nampak peluh membasahi wajahnya. Dia lalu menuntunku menjauh dari tempat itu.

Ajaib, aku menurut. Tak lagi menepis tangannya.

"Lo baik-baik aja kan, Cha?" tanya Daffa pelan, menghapus air mataku dengan lembut. Daffa lalu mengajakku duduk di bangku taman yang ada di belakang kampus.

"Itu aku, Fa." Aku kembali terisak.

"Hei, jangan nangis. Lo masih shock dengan api itu. Itu biasa kalau cuaca sedang terik-teriknya." Daffa kembali mengelus pipiku, menghapus air mataku yang kembali jatuh. Aku menggeleng lemah.

"Enggak … api itu ada karena aku."

Ku tutup wajah dengan kedua tangan, aku tahu ia tak akan percaya. Tapi kurasa, dengan menceritakannya akan membuatku sedikit tenang.

"Saat aku tersudut dan merasa terancam, api itu muncul, membakar apa saja. Bahkan ayahku, mati terbakar karena ulahku." Kutatap wajahnya yang tanpa ekspresi, hanya bergeming mendengarkan ceritaku.

"Aku yang membunuhnya. Karena itu aku selalu menjaga jarak dengan siapa saja. Lebih baik sendiri daripada kuharus melukai orang-orang di sekelilingku." Daffa masih saja diam. Mungkin ia menganggapku gila, biar saja. Ia harus tahu, perempuan apa yang tengah dihadapinya saat ini.

***

"Udah ceritanya?" Ia bertanya setelah sesaat keheningan tercipta. Aku menatapnya lekat.

"Kamu enggak percaya, kan? Kamu pasti menganggapku gi—"

Daffa lalu merengkuhku, tangannya menepuk lenganku pelan.

"Gue percaya … gue janji bakal buat Lo sembuh."

"Aku enggak sakit!" Aku memberontak, berusaha melepaskan diri. Tetapi rengkuhannya terlalu kuat untukku.

"Gue tahu! Kita akan mencari cara menghilangkan api itu."

"Caranya?"

"Bersosialisasi." Ia tersenyum lalu menangkup kedua pipiku dan mencubit pipi gembilku.

Sekali lagi ia membuat pipi ini merona …

Daffa membuktikan omongannya, dia mengenalkanku dengan teman-temannya. Mahasiswa yang selalu nongkrong di gedung barat dekat taman belakang yang kemudian kuketahui adalah ruangan klub PA—Pencinta Alam.

Dia mengajarkanku untuk menjalani kehidupan layaknya manusia normal. Dan berusaha melupakan diriku yang memiliki keanehan. Setelah berinteraksi dengan teman klub-nya, aku juga mulai bergaul dengan teman kuliah yang lainnya. Yang seangkatan, senior bahkan dengan adik tingkat.

Ternyata sebahagia ini rasanya memiliki banyak teman. Saking bahagianya aku jadi lupa kapan terakhir api itu muncul. Bahkan saat aku bersedih di saat kelulusan dan harus berpisah dengan teman-temanku, api itu tak muncul lagi. Aku benar-benar bahagia, sepertinya terapi Daffa berhasil, Aku sembuh.

Daffa benar, yang kubutuhkan hanya bersosialisasi. Berteman dengan banyak orang dan tak pernah memikirkan hal yang buruk.

Hingga saat Daffa menawarkan sebuah hubungan yang melebihi sebuah pertemanan dan aku pun menerima dengan senang hati. Lima tahun berteman dengannya, aku yakin dia lelaki yang sangat baik.

Enggak salah, kan? Aku juga ingin merasakan memiliki pacar. Yang selama dua puluh lima tahun kehidupan tak pernah kumiliki.

Hubungan kami baik-baik saja dan tak terasa telah berjalan dua tahun lamanya, meski kami telah sama-sama bekerja di kota yang berbeda. Aku harus kembali ke kota kelahiranku, memenuhi wasiat Ayah dan melanjutkan usaha miliknya yang semasa aku kuliah dikelola oleh orang kepercayaan Ayah sembari menungguku lulus. Sedangkan Daffa memilih untuk tetap di Jogja dan bekerja di sebuah perusahaan manufaktur ternama. Toh sesekali kami bisa saling mengunjungi.

***

Aku menghirup udara yang terasa lembap akibat hujan semalam. Ada kerinduan mendalam saat kujejakkan kaki di kampus yang dulu pernah menjadi tempatku menuntut ilmu.

Jogja dan Daffa adalah suatu kesatuan yang sangat berarti untukku. Jogja, tempatku bersembunyi dari kenangan pahit masa kecil dan Daffa, ia adalah lelaki yang telah merubahku menjadi seseorang yang tak introver lagi.

Mumpung sedang berada di Jogja, enggak ada salahnya kalau aku menyempatkan diri ke kampus untuk mengambil ijazah yang tak sempat kuambil karena buru-buru harus balik ke kota kelahiranku.

Hitung-hitung bernostalgia, kan?

Soal Daffa, mungkin cukup dengan mengejutkan lelaki itu dengan tiba-tiba muncul di depan kantornya, menjemputnya pulang. Aku terkekeh membayangkan raut wajah Daffa nantinya saat melihatku.

Setelah menyelesaikan semua urusan di ruang akademik. Aku memutuskan pergi ke gedung barat tempat anak PA biasa berkumpul. Senja di ufuk barat melatarbelakangi gedung yang sepertinya baru saja direnovasi. Kampus sudah sangat sepi, mahasiswa pun sudah sangat jarang yang lalu-lalang di sekitaran gedung barat.

"Kapan kamu akan memutuskannya?" Suara perempuan dengan nada yang cukup tinggi dari balik pintu geser sangat jelas terdengar.

Aku memelankan langkah, menjauhi gedung barat. Aku tak ingin mengganggu. Mungkin mereka sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

"Bersabarlah, sedikit lagi. Sampai ia menyerahkan semua asetnya padaku," balas suara lelaki.

Langkahku terhenti. Aku berbalik. Suara itu sepertinya tak asing. Kulangkahkan kakiku, kembali mendekati pintu geser. Kutempelkan telinga di daun pintu dengan sangat pelan.

"Tujuh tahun, Fa! Butuh berapa waktu lagi menyingkirkannya? Kamu enggak ngerti gimana perasaanku saat melihat kalian begitu mesra. Aku sakit hati, Fa!" Suara perempuan kembali terdengar, pelan dan diikuti isakan.

"Hei, kamu tahu kan itu untuk kebaikan kita berdua? Aku tinggal memastikannya sedikit lagi. Memastikan keanehannya itu benar-benar hilang dan setelah asetnya berpindah atas namaku."

Tak salah lagi, itu suaranya. Suara lelaki yang—menurutku sebelumnya—sangat berjasa untukku. Euforia yang semula membuncah berganti dengan amarah yang memuncak. Kugeser pintu dengan kasar. Keduanya terkejut, bergidik melihatku.

"Aku enggak nyangka kalian akan seperti ini di belakangku." Airmataku mulai jatuh.

"Lo pikir kita tulus? Haha … Lo itu hanya mon— aaaakkkkhhhh." Api mulai membakar tubuh perempuan itu.

Pekikan perempuan itu tertelan dengan api yang mulai menjalari wajahnya. Aku ingat namanya Dita.

Daffa nampak panik, dia mencari APAR ke sekeliling ruangan tapi tak menemukannya. Lelaki itu membuka lemari mencari kain dan berlari ke toilet. Aku tahu dia bermaksud memadamkan api dengan kain basah.

Air mataku semakin deras, kembali kuacungkan tangan ke arah Dita. Api semakin besar melalap tubuh perempuan itu tanpa sisa.

Aku menatap Daffa dengan tajam, sedang lelaki itu terpaku menatapku bergantian dengan kain basah yang dipegangnya, kemudian menatap Dita yang telah berubah menjadi abu. Rahang lelaki itu mengeras.

"Kamu enggak berubah, Cha! Sia-sia aku bersamamu selama tujuh tahun ini. Kamu memang monster!" bentak Daffa sambil menunjukiku.

"Aku apa?" tanyaku pelan, meminta kepastian dari omongannya. Jangan sampai aku salah dengar.

"Kamu monster! Harusnya aku enggak mengikuti permintaan ibu tirimu!" Daffa kembali membentakku.

"Jadi begitu? Hehehe …," seringaku lalu menatapnya lekat.

"Kamu salah, Fa. Aku sudah berubah." Aku terdiam sejenak, menahan napas.

"Dulu aku tak bisa mengendalikan api-ku. Membakar apa saja di luar kesadaranku." Kuembuskan napas yang tertahan.

"Sekarang …. berkat dirimu, aku bebas menentukan apa saja yang ingin kubakar. Termasuk kamu dan pacar sialanmu!" Kuacungkan tangan ke arah Daffa dan api perlahan membakar tubuh lelaki itu beserta  barang-barang di sekelilingnya.

Dengan cepat kutinggalkan gedung barat tanpa menoleh lagi. Tak peduli dengan rintihan kesakitan yang sempat keluar dari bibirnya.

***

Terjadi kebakaran di salah satu gedung Universitas K di kota Jogjakarta. Padahal gedung yang dulunya berfungsi sebagai tempat aktifis klub PA itu baru saja direnovasi. Kebakaran tersebut menelan dua korban jiwa, adalah DF (27) dan DT (27). Keduanya adalah alumnus Universitas K dan anggota klub PA di masanya. Tak ada pelaku lain yang memicu insiden tersebut. Hasil investigasi dari kepolisian setempat menyebutkan jika kebakaran tersebut murni karena keteledoran kedua korban. Ditemukan sebuah pemantik api dan beberapa puntung rokok tak jauh dari lokasi.

Senyum lebar tercetak di bibirku saat membaca koran pagi yang seperti biasanya ada di meja kerjaku, lalu mencecap kopi hitam favorit yang tersaji dengan asap yang masih mengepul. Ah, rasanya nikmat sekali.

END

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

I Am Not Special, I just Limited Edition

CLOSE