[CERPEN] Perempuan yang Menunggu di Depan Rumah

Dengan sabar Sumirah menunggu Sardi. Padahal Sardi telah tiada.

Malam ini adalah malam yang kedua puluh kali Sumirah duduk di kursi bambu di depan rumah petaknya di kompleks DPR (Daerah Pinggiran Rel). Rumah kontrakan layaknya rumah liliput. Ditemani sepi dan hape. Sumirah cuma menunggu. Hingga larut malam. Matanya masih menjelajahi akun facebook miliknya

Advertisement

Anaknya satu. Laki-laki. Cuma lulusan SMP. Dua puluh tahun yang lalu, anak lelaki satu-satunya itu masih dikandungnya. Kini anak itu mewarisi pekerjaan ayahnya. Bukan prgawai atau karyawan, tapi buruh kasar di kawasan Pecinan. Di Glodok. 

Setiap tanggal 13 Mei, Sumirah selalu begitu. Duduk di kursi bambu. Sendiri  di depan rumah petaknya. Menunggu Sardi, suaminya. Juga berdoa bagi keselamatan suaminya itu.Karena kesetiaannya yang tak tergadai atau terjual kepada lelaki lain, ia masih menunggu Sardi. 

                                                                             ***

Advertisement

Tigabelas. Mei 1998. Pagi hari. Setelah sarapan lontong sayur dan minum segelas teh manis panas, Sardi berpamitan kepadanya. Berangkat bekerja. Kuli di Pasar Pagi. Meski Jakarta diamuk penjarah, suaminya tetap berarngkat bekerja.

"Semoga tak terjadi apa-apa pada dirimu, Kang Sardi," kata Sumirah kepada Sardi.

Advertisement

"Ya, Sum. Terima kasih. Oh, iya Sum, kabarnya Jakarta sekarang ini sedang kacau. Banyak toko dijarah. Di Glodok, toko-toko elektronik, tak cuma dijarah. Tapi juga dibakar."

"Jangan ikut-ikutan menjarah dan membakar, Kang!"

"Nggak, Sum!. Oh, iya … jaga kandunganmu Itu anak pertama kita."

Sardi berjalan meninggalkan Sumirah. Menyusuri gang demi gang. Meninggalkan kompleks DPR.  Lenyap ditelan keriuhan Jakarta yang hingar-bingar. Sumirah cuma bisa memandang  dengan tatapan mata kosong. 

Sumirah melangkah ke dalam rumah. Ia kini seniri. Ditemani bayi yang dikandungnya.

                                                                               ***

Sore menjelang petang Sumirah keluar rumah. Orang-orang di kompleks DPR menggerombol di sepanjang rel. Mereka membicarakan Jakarta yang galau dan geger karena ulah para demonstran. Tapi Sumirah  buta politik. Ia tak mau berkomentar tentang refoemasi.,yang tiba-tiba menjadi makhluk menarik di televisi. Ia juga tak mau tahu tuntutan para mahasiswa yang menginginkan Pak Harto lengser  dari kursi kepresidenan.

Perhatian Sumi cuma tertarik kepada para lelaki, tua dan muda, yang tinggal di satu kompleks dengannya. Ada yang memanggul televisi. Ada yang menenteng tape recorder. Ada yang memanggul karung yang isinya entah apa. Bahkan ada yang mendorong  gerobak berisi televisi, radio, tape recorder, dan komputer..

"Tapi, di mana Kang Sardi, suamiku? Awas, kamu Kang, kalau sampai berbuat seperti mereka " Sumirah membatin.

Sementara itu, terlihat oleh Sumirah helokopter militer melintas di udara. Truk-truk berpenumpang tentara tampak hilir mudik. Dari kompleks DPR, tampak asap membubung di kejauhan.

                                                                           ***

Ketika azan maghrib dari masjid berkumandang, Sumirah sangat terkejut. Karena di dekatnya telah berdiri Sardi suaminya. Tetapi Sardi cuma diam mmbisu. Tak berkata sepatah kata pun. Sumirah menegurnya.

"Tumben, Kang Nggak pakai asasalamualaikum, kok tiba-tba saja sudah di dalam rumah." Sardi hanya diam.

"Para tetangga tuh  menjarah barang-barang elektronik di Glodok. Mereka nekat. Modal nekat. Atau mungkin malah dibiarkan?" Sardi cuma diam.

"Oh, iya Kang,, shalat maghrib dulu Saya siapkan kopi dan makan malam. Meski cuma pakai tempe goreng dan sayur lodeh. Masih ada kok ikan asin kesukaanmu," Sumirah terus nyerocos meski Sardi tak juga membalasnya.

                                                                       ***

Dari dapur yang cuma tersekat triplek dengan kamar tamu, Sumirah membawa kopi panas. Makanan sudah tersaji di meja makan yang terletak di  kamar tamu. Namun, jantung Sumirah berdegup kencang ketika ia tak menemukan Sardi, suaminya. Sardi seperti lenyap ditelan bumi. 

"Kang Sardi Kang Sardi" Sumirah memanggil-manggil Sardi. Tak ada jawaban. Bulu kuduk Sumirah mulai berdiri.

"Kang Sardi" Sekali lagu Sumirah memanggil Sardi. Masih juga tak ada jawaban. Tak ada suara.

Akan tetapi, yang terjadi kemudian membuat Sumirah terduduk lemas. Tiba-tiba angin dingin bertiup kencang. Disertai bau benda atau sesuatu yang terbakar. Layaknya  makhluk hidup yang dilalap api.

                                                                              ***

Sumirah masih menunggu Sardi, hingga larut malam. Ketika itu kelebat bayangan Sardi menghampirinya. Seperti aroma daging terbakar menusuk hidungnya.

Itu penghormatan terakhiir Sumirah bagi Sardi. Pada setiap tanggal 13 Mei. Selalu begitu!

Jakarta, 13 Mei 2018 dan Cibinong, 21 September 2019

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis dan pensiunan guru SMP di DKI Jakarta. Dengan suka hati menulis artikel, cerpen, dan puisi di media massa cetak, media online, dan media sosial. Menulis buku puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018). Selain itu, juga menulis buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018) Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

CLOSE