Perjalananku Adalah Inspirasi Bagiku, Ibu Adalah Inspirasi Bagi Setiap Nafas

Senin, 8 Januari 2016, pukul 06.00 WIB saya terbang dari Medan ke Jogjakarta untuk kembali melanjutkan sisa semester kuliah. Saya duduk di sebelah kanan kabin, posisi saya duduk di tengah, di sebelah kanan saya adalah seorang mahasiswa salah satu PTS di Jogjakarta dan di sebelah kiri saya adalah seorang ibu, yang saya taksir berusia 33 tahun. Ketika itu saya adalah penumpang terakhir yang masuk ke dalam kabin, karena ada sesuatu yang saya beli di minimarket bandara. Ketika saya sudah masuk ke kabin, saya pun permisi kepada ibu di sebelah kiri saya untuk duduk. Ibu di sebelah kiri saya dengan wajahnya yang ceria, bahagia langsung mengajak saya ngobrol. Dia langsung bertanya, “mas kuliah di Jogja juga?” saya jawab “iya bu” kemudian dia terus bertanya mengenai kampus saya dan jurusan saya dengan ekspresi wajah yang sangat senang, tanpa beban sedikit pun terpancar dari wajahnya. Kami pun terus diskusi tentang pendidikan dan saya ketahui ibu ini adalah lulusan Sastra Perancis Universitas Negeri Jakarta.

Beberapa menit sebelum take off saya pun sempat bertanya mengenai keluarganya, dan dia tetap menjawab dengan ekspresi senang. Ketika pesawat take off sekitar beberapa detik mulai terlihat tingkah aneh ibu ini. Dia melepas sabuk pengaman, dan berkata kepada saya untuk ke toilet sebentar. Kemudian saya beritahu bahwa penumpang belum boleh melepas sabuk atau keluar dari tempat duduk, tetapi ibu ini tetap berjalanan menuju ke belakang kabin. Terdengar pemberitahuan dari awak pesawat bahwa penumpang harus tetap di tempat duduk sampai lampu tanda sabuk pengaman dimatikan. Suasana waktu itupun masih gelap, pukul 6 pagi dan lampu kabin pesawat pun dimatikan. Ibu ini pun tetap tidak kembali ke tempat duduknya. Kemudian sekitar lima menit setelah lampu sabuk pengaman dimatikan ibu itupun kembali ke tempat duduknya. Kami pun mengobrol kembali dengan wajah si ibu yang masih terlihat bahagia. Dia pun bertanya kepada saya “mas sudah pernah naik pesawat malam, rasanya gimana?” saya jawab “sudah bu, ya sama seperti pagi ataupun siang.” Kemudian saya tanya “ibu sendirian aja ke Jogja?” dia jawab “iya mas” dengan wajah si ibu yang tetap terlihat bahagia. Saya tanya lagi “ibu ngapain ke Jogja?” mau ketemu keluarga mas mas, jawab ibu. “anak ibu ada berapa?” cuman satu mas, jawab ibu dengan wajah yang sangat bahagia, dan aksen suara yang sangat professional. Selang beberapa menit, dia pun kembali ke belakang kabin, sekitar sepuluh menit diapun kembali lagi ke tempat duduknya tetap dengan ekspresi wajahnya yang bahagia.

Dia pun bertanya lagi kepada saya “di Jogja rata-rata biaya kos per bulan berapa mas? Saya jawab “300-800 ribu bu.” Karena sangat bahagianya wajah ibu ini dan sifat ramahnya, saya pun tidak sungkan untuk terus bertanya lebih jauh kepada ibu ini. “bu suaminya kerja dimananya?” tanya saya, di kodam medan mas, tapi sudah cerai, jawab si ibu. Dengan tetap tersenyum bahagia kepada saya. Kenapa bisa cerai bu? “yah sudah gak cocok mas, sama keluarganya juga” jawab ibu dengan tegasnya dan ekspresi wajah tanpa ada penyesalan sedikitpun. Saya tanya lagi “terus anaknya ikut siapa bu?” ikut bapaknya mas, dia dari kecil sudah didoktrin bapaknya dan keluarga ayahnya jawab ibu. Selang sekitar dua menit dia pun kembali ke belakang kabin. Sempat ada yang aneh menurut saya terhadap ibu ini. Kami duduk tujuh kursi dari depan, dan toilet pun tersedia di depan kabin, kenapa ibu ini harus ke toilet belakang kabin yang lebih jauh, sementara ada toilet di depan kabin yang lebih dekat, pikir saya.

Sekitar lima menit ibu itu pun kembali ke tempat duduknya, tetap dengan ekspresi wajah bahagia, tanpa beban sedikitpun. Dia bertanya lagi kepada saya “mas pesawatnya kok berisik banget ya?” ya saya jawab saja dengan logika orang awam “mungkin mesinya bu.” Selang sekitar sepuluh menit, si ibu pun cerita kepada saya bahwa suaminya sedidkit gila, saya mau diancam pakai pisau mas. Ibu ini tetap berbicara dengan tegas dan ekspresi wajah tanpa ada kesedihan sama sekali. Kemudian saya tanya “anak ibu kelas berapa” dia jawab “kelas tiga SMP mas” sambil tersenyum saya sarankan “ya sudah bu nanti anaknya SMA di Jogja aja, si ibu pun tersenyum bahagia, “iya mas di Jogja ya, kalok di Jogja masih ada sopan santunnya ya mas. Jawab ibu dengan ekspresi wajah bahagianya. Dua menit kemudian si ibu pun kembali ke belakang kabin. Beberapa menit kemudian si ibu kembali ke tempat duduk, dengan tetap menunjukan wajah senangnya dan ramahnya. Dia pun melanjutkan ceritanya . Wajah ibu bercerita kepada saya pun tetap tegas, senang, ramah, tanpa ada penyesalan sama sekali. Kemudian saya jawab “iya bu, nanti kasian ke anak ibu lo” si ibu pun langsung permisi ke belakang kabin. Itulah pernyataan terakhir saya kepada si ibu sebelum pesawat landing.

Lima menit sebelum pesawat landing, awak pesawat memberitahukan bahwa seluruh penumpang diharapkan kembali ke tempat duduk. Ibu tadi pun kembali ke tempat duduk dengan tetap senyum bahagia kepada saya. Kemudian seorang pramugari datang dari belakang dan menghampiri si ibu dan berkata “sudah ya bu, sudah mau sampai, dipakai sabuk pengamannya”. Saat daratan sudah terlihat saya pun mengalihkan perhatian saya ke luar kaca pesawat, sepuluh detik sebelum landing saya kembali mengalihkan perhatian saya ke ibu, dan betapa terkejutnya saya melihat air mata ibu ini bercucuran, menangis sedih. Saya pun hanya bisa diam, dan si ibu berkata kepada saya “terima kasih ya mas, maaf menggangu, maaf merepotkan” ibu ini tetap menangis, saya kuatkan ibu ini , sudah ya bu. Terakhir saya berkata kepada si ibu “yang benar tetaplah benar bu, dan hanya menunggu waktu saja untuk membuktikan kebenarannya.”

Selama perjalan keluar dari bandara saya pun menyimpulkan bahwa setiap kali ibu itu ke belakang kabin, saya yakin dia menangis di toilet ataupun di ruangan pramugari. Itu yang tidak saya sadari hanya karena saya melihat ekspresi wajah ibu itu yang tetap bahagia, tegas, ramah. Dan puncak kesedihannya adalah saat pesawat mendarat. Terkadang memang berpisah dengan orang yang masih hidup lebih menyakitkan daripada berpisah dengan orang yang tidak bisa kita temui lagi. Dan buat si adik, semisal tulisan ini terbaca oleh adik, temui ibu kamu ya dik, datang kepadanya dan minta maaf ya.

#IniPlesirku

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Teknik Industri UPN "Veteran" Yogyakarta Suka jalan-jalan dan baca buku sastra klasik