Perubahan Bentuk Interaksi Sosial di Tengah-tengah Perkembangan Media Sosial

Perkembangan teknologi di zaman ini harus bisa kita sikapi dengan amat teliti

Beberapa minggu belakangan yang lalu, Indonesia di hebohkan oleh kasus perundungan yang dialami siswi SMP di Pontianak. Hingga ditetapkannya 3 siswi SMA sebagai tersangka kasus tersebut. Dugaan kekerasan yang dialami oleh korban berawal dari cekcok saling ejek di media sosial dan berujung dengan perkelahian. Sorotan tajam terjadi pada kasus ini. Munculnya tagar-tagar yang seolah memberikan semangat kepada korban dan berupa kecaman kepada terduga tersangka di media sosial. Hingga Presiden Jokowi juga ikut mengomentari kasus tersebut.  Presiden ketujuh RI itu pun menilai ada permasalahan yang melatarbelakangi tindakan pelaku penganiayaan yang juga masih terbilang anak-anak, yaitu perubahan bentuk interaksi sosial yang sekarang kebanyakan lewat media sosial.

Advertisement

Lalu, apa sebenarnya interaksi sosial itu? Menurut Bonner (dalam Ali, 2004) interaksi merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, di mana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah, atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya. Sedangkan menurut Shaw, interaksi sosial adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain.

Jika disimpulkan dari kedua pengertian interaksi sosial dari kedua ahli di atas, interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi.

Pola interaksi sosial tersebut tak lain berubah seiring dengan kemajuan teknologi saat ini. Dikutip dari data boks kata data, Berdasarkan hasil riset  Wearesosial Hootsuite yang di rilis Januari 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei sebelumnya. Sementara pengguna media sosial mobile (gawai) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi.

Advertisement

Riset Wearesosial Hootsuite juga memaparkan pengguna media sosial di Indonesia paling banyak berada pada rentang usia 18-34 tahun. Pengguna pria lebih mendominasi, di mana pada rentang usia 18-24 tahun, jumlahnya mencapai 18 persen, lebih unggul dari pengguna wanita dengan persentase 15 persen. Dari data tersebut terlihat generasi milenial atau sering disebut generasi Y serta generasi Z mendominasi penggunaan media sosial.

Dahulu ruang diskusi menjadi hal yang lumrah dicari ketika ingin melaksanakan diskusi baik itu kelompok maupun personal ke personal. Bukannya tidak ada, saat ini sudah sedikit kita menemukan orang berdiskusi di taman atau perpustakaan. Saat ini hal itu sedikit begeser karena adanya berbagai macam teknologi yang menyediakan ruang diskusi yang dirasa lebik praktis dan cukup luas. Munculnya berbagai aplikasi instan chatting seperti WhatsApp atau Line menjadikan diskusi yang bersifat sedarhana dengan jarak yang jauh jadi memungkinkan.

Advertisement

Belum lagi mudahnya mendapatkan informasi dari internet. Bertebarannya referensi pembelajaran di sana menambah kemudahan ketika kita ingin berdiskusi dengan menggunakan media sosial. Dahulu orang yang berdiskusi harus bertemu dalam satu area atau ruangan dengan membawa banyak buku atau referensi pembelajaran, namun saat ini di manapun dan kapanpun, cukup dengan koneksi internet dan tersedianya ruang diskusi online yang memungkinkan semua anggota diskusi hadir di dalamnya.

Terlepas dari kemudahan yang kita dapat dengan menggunakan media sosial, terdapat juga hal yang hilang ketika kita menggunakan media sosial tersebut. Ketika kita berkomunikasi jarak jauh dengan media sosial, minim intuisi kita untuk menangkap apa dan bagaimana perasaan lawan diskusi kita. Bisa dikatakana hilangnya rasa empati ketika kita bermedia sosial. Hilangnya rasa empati ini terlihat dari kasus perundungan-perundungan yang bermula dari interaksi seseorang atau kelompok di media sosial. Saat empati hilang, media sosial seolah menjadi ajang saling caci atau disebut bullying. Tidak peduli dengan perasaan lawan komunikasi hingga akhirnya berlanjut dengan terjadinya kekerasan fisik.

Dalam lingkup yang bisa dijangkau, keluarga menjadi salah satu pintu masuk dan keluar untuk menyaring pengaruh negatif dari perubahan interaksi sosial yang sudah beralih ke media online tersebut. Ketika kenyamanan didapatkan di lingkungan tersebut, seketika itu juga akan ada keterbukaan tentang masalah yang terjadi. Terjadilah diskusi antar anggota keluarga untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dialami anggota keluarga lainnya. Dengan begitu setidaknya permasalahan bukan menjadi masalah seseorang saja tetapi menjadi masalah bersama yang kemudian diharapkan bisa di selesaikan bersama-sama dengan cara yang baik.

Perkembangan teknologi di zaman ini harus bisa kita sikapi dengan amat teliti. Saat ini bukan tentang seberapa cepat kita update dan mengadopsi suatu teknologi. Tetapi seberapa siap kita akan terpaan negatif ataupun positif teknologi yang akan kita adopsi tersebut.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE