Meski Berat Dijalani tapi Atas Nama Cinta, Aku Rela Cinta dan Perhatiannya Terbagi

Rela berbagi cinta

Baik pria maupun wanita sebenarnya tidak ingin cintanya terbagi. Berdua selamanya adalah harapan yang sejatinya terus ditanamkan dalam diri. Namun harapan kadang kala hanya menjadi mimpi, menjebak jiwa pada rintangan hidup yang begitu sulit.

Advertisement

Seperti yang tengah kujalani saat ini. Aku memilih bertahan saat kutahu bahwa cintaku tidak hanya milikku saja, ada orang lain di antaranya. Jelas, terkadang hal ini membuatku termenung. Bisakah aku menjalaninya dengan bahagia?

Aku selalu berupaya untuk mengerti setiap keadaan. Memahami setiap perasaan. Meski yang kurasa semuanya begitu berat untuk dijalani, tetapi harus dihadapi. Di sini, situasi menuntutku agar dapat menekan ego, rasa cemburu harus dikurangkan kadarnya.

Aku menyayangi pasanganku, bahkan sangat mencintainya. Akan kuberikan cinta terbaik yang kupunya untuk dia. Walau terkadang aku harus berpacu pada pikiran, tenaga dan waktu demi selalu ada di sisinya, merawatnya, dan membuat hidupnya sedikit lebih bahagia. 

Advertisement

Perihal bahagia, sepanjang waktu bersama dia selama ini, aku selalu merasa bahagia. Namun berbeda untuk detik ini. Kali ini aku benar-benar sedih dan sesak, tapi tidak sampai terisak. Sedih ini berasal dari kesanggupanku berbagi hati. Sedih yang masih bisa kutangani dengan segala pikiran positif, segala rasa memahami satu sama lain.

Di satu sisi aku meresapi tiap-tiap perasaan yang mungkin ada dalam hati orang lain yang juga menjadi pasangan pasanganku. Soal bagaimana hatinya mau menerima aku sebagai orang ketiga. Kusebut diriku adalah orang ketiga karena aku sadar bahwa pertemuanku dengan pasanganku masih seumur jagung, berbeda dengan yang lainnya, yang sudah bertahun-tahun. Posisi ini membuatku lemah. Tetapi di sisi satunya lagi, cinta yang kumiliki ditambah pasangan yang berkata bahwa dia pun menyayangiku justru membangkitkan kekuatan yang sempat hilang. Aku betul-betul bingung dan linglung.

Advertisement

Sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkan membagi cinta. Hanya saja, aku merasa seperti tidak pantas berada di kehidupan pasanganku. Pun aku menganggap ada sedikit diskriminasi. Aku sangat jarang mendapat kabar. Namun hal ini memang diganti dengan temu yang acap tercipta. Sehingga kupikir ini bukanlah sebuah perkara. Cuma, aku amat menyayangkan setiap janji sepele yang pasanganku buat justru harus berujung kekecewaan.

Bukan janji yang besar. Dia begitu sering memberiku harapan sebuah pesan singkat instan yang akan dia kirim untukku sebagai pertanda maupun kabar usai adanya temu di antara kami. Hal ini tidak jarang membuatku selalu menunggu hingga larut malam, tidak peduli betapa mengantuknya aku, memaksa mata terus terbuka menanti sebuah pesan dari orang tersayang. Akan tetapi beberapa kali penantian hanya menghasilkan suatu yang nihil.

Kemudian beberapa waktu lalu, saat raga kami sedang dipisahkan jarak yang sangat jauh. Dia pernah berjanji padaku hendak melakukan panggilan video, sebagai penawar rindu. Kenyataannya adalah hingga saat ini kami tidak pernah melakukannya.

Dan terakhir adalah perihal makan malam. Dia ingin mengajakku makan malam setelah maghrib menjelang. Tetapi realitanya, dia malah sibuk berbincang sembari melakukan aktivitas lain sampai lupa waktu, sementara aku sendiri dalam ruangan dan kesepian. Makan malam itu pada akhirnya hanya menjadi impianku. Sebab malam itu, kami juga harus menjemput seseorang, jadi kami tidak sempat untuk mewujudkan sebuah makan malam. Akibatnya, jasmaniku menurun.

Kejadian di atas seolah menyadarkanku bahwa aku bukanlah siapa-siapa. Mungkin pasangannya yang lain jauh lebih berharga. Tidak mengapa, yang penting aku telah mencintainya dengan sebenar-benarnya cinta, dengan tulus dan tak pernah terbesit untuk berpaling. Ini hanya soal takut kehilangan dan ditinggalkan.

Jujur, ingin rasanya kumenangis. Mengadu pada alam. Berbisik dengan angin. Teriak sekencang-kencangnya bersama ombak. Kisah ini kuanalogikan bagai jari dan kuku. Jari adalah aku dan dia. Lalu kuku yang memanjang adalah konflik kami. Jika terjadi masalah seperti ini, tentunya kami hanya harus memotong kuku itu, bukan malah memotong jari. Sehingga ini meyakinkanku untuk dapat bertahan dalam keadaan apapun. Karena komunikasi akan memperbaiki semuanya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pria kelahiran 25 Januari dengan talenta sederhana, pecinta film thriller/horror/action, penyuka musik ballad, pencurhat lewat tulisan, perupa lewat lukisan.

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE