Sawarna, Pantai Bali Banten (Perjalanan 29 Desember 2012—1 Januari 2013)

Mengisi waktu liburan akhir tahun begitu terasa ketika berkunjung ke tempat wisata Pantai Sawarna, Bayah, Kabupaten Lebak, Banten. Rencana berkunjung di tempat ini, saya hanya butuh waktu sehari. Sebenarnya, antara hati dan dompet saling berkelahi. Akhirnya, hatilah yang menang, meski dengan uang alakadarnya—uang gaji yang tinggal beberapa rupiah lagi untuk sebulan ke depan. Bersama kawan-kawan yang berjumlah sepuluh orang; dua perempuan dan delapan laki-laki. Akhirnya kami meluncur sekira pukul 10.00. Kami berangkat dari Serang kemudian melewati jalur alternatif—saya lupa nama jalannya. Biasanya jalur yang digunakan dari Saketi, Pandeglang. Jalan yang kami pilih menurut kawan saya lebih dekat dan lebih nyaman.

Advertisement

Baru seperempat jalan, sekira zuhur kami kehujanan di Cikekes. Hujan cukup lebat. Kami berteduh di warung sambil menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi dan beberapa helai roti. Terpaksa perjalanan tertunda kurang lebih satu jam. Hujan pun mulai reda, meski masih menyisakan gerimis, kami melanjutkan perjalanan. Sebagian menggunakan jas hujan, sebagian harus rela berbasah-basahan. Sepanjang perjalanan, kami berjalan masing-masing. Ada yang sudah jauh di depan, ada pula yang masih tertinggal di belakang. Saya dan kawan saya, Rahmat, berada di urutan tengah. Kurang lebih satu jam saya tak menemukan sosok kawan saya, Andez, di belakang saya. Beberapa saat kemudian, ia mengabari bahwa ban motornya bocor. Terpaksa saya berputar kembali mencari Andez. Ada-ada saja kawan yang satu ini. Kawan-kawan yang lain barangkali sudah melesat jauh di depan. Saya kabari mereka untuk menunggu kami selesai menambal ban.

Sekira pukul 17.00, kami sampai di Sawarna. Akan tetapi, bukan tepat berada di pantainya, melainkan memandang jauh dari atas bukit. Menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang sangat memesona. Manusia-manusia di bawah sana terlihat sangat kecil. Tak berlama di atas bukit, kami pun segera meluncur ke tempat manusia-manusia itu. Dengan penuh semangat dan rasa penasaran kami melanjutkan perjalanan. Kembali kami melewati jalanan yang membikin bulu kuduk merinding. Melewati jalanan curam yang cukup mengacu adrenalin. Akhirnya, sampailah kami di pantai nan indah ini. Motor kami diparkir di bawah pohon, sekitar seratus meter dari bibir pantai. Kami tak sabar ingin menyentuh air laut Sawarna. Kami langsung bergegas, berlari menuju bibir pantai.

Melihat ombak pantai ini, saya dan kedua teman saya jadi sangsi untuk mandi. Ombak seperti ini belum pernah saya lihat di tempat saya, Lontar, Kec. Pontang, Serang maupun di Pantai Anyer sekalipun. Kedua teman saya yang lain—salah satunya adalah asli orang Bayah—langsung menceburkan diri ke laut. Menghampiri ombak itu. “Ayo kawan, tak mengapa. Buka baju kalian!” Serunya. Saya dan teman yang lain langsung membuka baju dan ikut berkelahi dengan ombak-ombak yang cukup menantang itu. Saya berpikir, apa yang harus saya lakukan bila di tempat ini ada tsunami. Terkena ombak begini saja kepalaku sudah pusing tujuh keliling. Air masuk beberapa kali di telinga. Ah, bayangan itu hanya sekilas, tetap saja saya dan kawan-kawan menikmatinya. Usai bermandi di laut, kami berbilas di air tawar yang mengalir dari gunung. Matahari sebentar lagi akan terbenam, sepertinya sudah cukup perkenalanku dengan laut Sawarna hari ini, besok akan kami lanjutkan kembali.

Advertisement

Kami bermalam di rumah Mas Amas. Rumahnya tak jauh dari Pantai Sawarna, kurang lebih 45 menit naik motor, itu pun kalau mengebut. Kami berhangat lagi dengan secangkir kopi dan rokok. Berganti pakaian, bersiap beristirahat malam ini. Mengumpulkan tenaga untuk besok hari. Nyatanya, malah tak ada yang bisa tidur. Kami begadang merencanakan agenda apa saja yang akan dilakukan besok. Usai salat subuh akhirnya kami bisa tidur.

Perjalanan yang kami lakukan sebenarnya survei untuk kegiatan kampus (UKM Belistra) dua bulan mendatang. Kami mencari tempat yang sekiranya seru dan menantang. Tahun-tahun sebelumnya, kami melakukan perjalanan ke Baduy dan Ujung Kulon. Tahun ini kami tertarik untuk menjelajah keindahan panorama Bayah, Lebak. Pagi ini rencananya berangkat ke Cisungsang, ke rumah ketua adat, untuk menanyakan perihal kebudayaan apa saja yang ada di Lebak. Ya, pusat adat Lebak kata kawanku memang berada di Cisungsang. Apalah daya, sepertinya cuaca tak bersahabat. Hujan kembali turun lebat. Kami pun yang baru beranjak kurang lebih tiga menit akhirnya memutar balik kendaraan. Kembali lagi di kediaman Mas Amas.

Advertisement

Rencana hari ini dialihkan berjelajah ke Goa Lalai atau Goa Lauk. Seharusnya agenda ini dilakukan di hari akhir. Nyatanya, alam belum merestui. Kami pun mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan menuju goa. Mulai dari makanan, kamera, golok, dan senter. Kata Mas Amas, perjalanan dari rumahnya menuju goa cukup dekat, sekitar satu jam. Memang betul satu jam. Akan tetapi, kami harus menghadapi berbagai rintangan yang cukup sulit. Ditambah lagi jalanan licin karena hujan. Nyamuk yang tak mau menjauh dari tubuh, luar biasa mengganggu. Tubuh kami tak nyaman. Tetapi, perjalanan harus tetap berlanjut.

Sungguh repot bila mengajak perempuan yang manja, salah satunya perempuan kawan saya, sebut saja Ratna. Ia kesulitan melewati rintangan naik- turun hutan yang licin. Sempat beberapa kali jatuh dan selalu tertinggal di belakang. Andez cukup repot membawa perempuannya itu. Namun, mau tidak mau semua harus sampai ke tujuan yang kata Mas Amas sebentar lagi sampai. Pada turunan terakhir yang cukup curam akhirnya saya dan kawan-kawan sampai di pintu Goa Lalai atau Goa Lauk. Tempat ini dinamakan Goa Lalai karena di dalamnya banyak kelelawar, sedangkan orang-orang menyebut lagi dengan Goa Lauk karena di genangan air dalam goa ini banyak ikan yang berkeliaran. Terserah mau menyebut yang mana. Keduanya sama saja.

Sebelum masuk ke dalam goa, kami berpose terlebih dahulu di mulut goa. Mengabadikan momen yang langka. Jeprat-jepret sana sini tak terasa sudah setengah jam. Perut kami sudah mulai keroncongan. Kami masuk ke dalam goa yang bergenang air seukuran puser orang dewasa. Tubuh saya langsung menggigil, entah yang lain. Kami naik ke atas goa dengan batu (campur tanah lumpur) yang begitu licin. Satu per satu meraih kawan yang sudah sampai terlebih dahulu di atas. Syukur, semua bisa naik dengan selamat. Di atas goa ini kami menemukan banyak coretan di atap bebatuan, ternyata sudah sangat banyak manusia yang berkunjung ditempat ini. Selain itu masih tersisa abu bekas kayu bakar. Ada pula yang masih tersisa utuh. Ini suatu keberuntungan buat kami. Tak usah repot lagi mencari kayu bakar. Kami pun langsung memasak mie yang kami bawa. Perut kami tak akan keroncongan lagi. Lagi-lagi kami berpose sebelum beranjak turun dari atas goa ini.

Hari ketiga kami melanjutkan perjalanan ke Cisungsang melalui jalan alternatif, yakni menaiki pegunungan. Perjalanan ini sungguh luar biasa. Kami berada paling atas di bukit gunung dan menembus awan bahkan berada di atas awan. Tentu saja hujan yang diselimuti kabut menemani sepanjang perjalanan kami. Meskipun jalanan begitu mengerikan, kami harus tetap terus berjalan. Sisi-sisi jalan sudah runtuh. Membikin kami selalu berhati-hati. Akan tetapi, rasa takut itu muncul kembali ketika kami melihat ada sebuah mobil yang jatuh ke jurang. Saya kira orang-orang berhenti di sisi jurang itu hanya sekadar beristirahat saja, ternyata mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri mobil itu terjun. Untungnya saya tak menyaksikan tragedi itu secara langsung. Ah, barangkali manusia-manusia di dalam mobil itu sudah waktunya dipanggil Yang Maha Kuasa, ya sudahlah, kami hanya bisa berujar Innalillahi Wainnailahi Raajiuun. Tiga-empat jam perjalanan sudah kami tempuh, alhamdulillah kami tiba juga di Cisungsang.

Sejenak kami beristirahat di rumah ketua adat – rumah yang cukup unik, seperti rumah-rumah di Baduy—sembari menunggu si empunya rumah yang katanya (sekretaris ketua adat) sedang menuju ke sini (rumah). Udara Cisungsang cukup dingin. Kami tak kuat berlama-lama. Rasanya ingin segera pulang. Ketika kami hendak pamit, kami disuruh makan terlebih dahulu. Katanya kami jauh-jauh dari Serang, masak tidak dijamu. Tak mengapa, itung-itung rezeki. Mengisi perut supaya bisa pulang dengan keadaan segar bugar.

Sekira usai asar kami pun pamit. Perjalanan pulang pun kami mulai. Lagi-lagi ditemani hujan yang tiada henti-hentinya menyelimuti kami. Perjalanan kali ini dua kali lipat dari perjalanan awal. Rasanya semakin dikejar semakin jauh tempat titik akhir kami (rumah). Beberapa kali lubang dijalan membikin bulu kuduk semakin bergoyang. Kepala rasanya mau pecah. Kulit sudah mengeriput. Sampai akhirnya di Pandeglang kami melambaikan tangan, petanda kami menyerah untuk tidak melanjutkan lagi perjalanan menuju Serang. Wajah kami sudah pucat pasi. Pengen muntah. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Perjalanan yang luar biasa. Mulai pukul 10.00—22.00.

Malam itu, pemberhentian terakhir kami adalah tidur di rumah istri Mas Amas di Pandeglang. Alhamdulillah nyawa kami terselamatkan. Keesokan pagi, nyawa kami sudah pulih kembali dan bisa pulang ke rumah masing-masing dengan selamat.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Encep Abdullah, penyuka cabe-cabean.

CLOSE