Sayang, Pernahkah Kamu Berpikir Bahwa Kita Lebih Baik Tidak Bersama?

Aku sudah lama memikirkan hal ini. Butuh beberapa hari bagiku untuk memberanikan diri meminta bertemu denganmu untuk menyampaikan hal ini. Dengar-dengarlah. Jika ada yang kurang berkenan, kumohon maafkanlah. Mungkin ini akan sedikit menyakitkan, tapi percayalah, akan semakin menyakitkan jika kita tak membicarakannya sekarang.

Sayang, pernahkah kamu berpikir bahwa kita lebih baik tidak bersama?

Dulu kita pernah berbagi mimpi. Sebuah rumah sederhana hasil jerih payah berdua dan gelak tawa lucu penghibur tubuh yang lelah. Jangan lupakan juga daftar kota-kota di dunia yang akan kita kunjungi berdua. Dulu segalanya terlihat sempurna. Kamu seolah sudah memikirkan seluruh masa depan kita. Aku hanya tinggal mengikuti rencana yang kau susun, lantas kita akan bahagia.

Sifatmu yang begitu memperhatikan setiap detil dalam diriku dahulu terasa begitu manis dan romantis, tapi kini terasa seperti kekangan tali yang mencekik. Membuatku sulit bernapas. Seperti sifat keras kepalaku yang dulu lucu dan menarik, tapi kini terlihat menyebalkan bagimu. Membuatmu bosan. Berbincang denganmu yang dulu terasa hangat dan menyenangkan, kini lebih sering berakhir marah dan diam.

Rencana-rencana masa depan yang kita susun penuh keyakinan, kini lebih banyak diakhiri keraguan.

Kamu bilang, sebagai pasangan kita harus saling menghargai. Tapi kurasa kita memiliki definisi menghargai yang berbeda.

Kita terus berkata bahwa kita akan berjalan beriringan, tapi sebenarnya kita hanya saling berlari berlawanan.

Kamu tentu ingat pertengkaran-pertengkaran yang kita lalui. Orang bilang setiap hubungan pasti memiliki kerikil-kerikil tajam penghambat jalan. Sebuah hubungan yang selalu baik-baik saja pastilah membosankan. Ada masa-masa saat kita tidak saling bicara, hingga salah satu dari kita merasa rindu. Rasa membutuhkan ini muncul saat aku merindukan dering-dering di ponselku, ataupun deru motormu di halaman rumahku.

Tapi kini bersamamu tidak lagi mudah. Kita selalu mendebatkan hal yang itu-itu saja. Aku benci melihatmu mengulang-ulang kesalahan yang sama, dan aku lebih benci pada diriku yang juga tergoda melakukan keburukan yang sama.

Maaf tidak berpengaruh apa-apa, sebab kita begitu mudah lupa pada apa yang kita ucapkan.

Hubungan kita tidak ada perkembangan. Bukankah sebuah perjalanan hubungan seharusnya saling mendewasakan? Tapi melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang artinya kita tidak bertambah dewasa, sayang. Hubungan kita tidak melaju ke depan, hanya jalan di tempat.

Tujuanmu adalah Utara, sedangkan aku ingin menarikmu ke Selatan. Seperti aku yang ingin ke Barat, tapi kamu selalu berusaha membawaku ke Timur. Hubungan kita kini seperti simpul mati dalam pramuka. Saling menjerat, mengikat, dan tak memberi ruang untuk bergerak. Pada akhirnya kita hanya akan terikat di tengah, terpaksa menjalani apa yang kita anggap kebiasaan, dan tidak pernah menuju Utara, Selatan, Barat, ataupun Timur.

Aku tidak mau kita bersama hanya karena sudah terbiasa. Bertahun-tahun hubungan kita memang lama. Berpisah tentu akan mengakibatkan malam-malam menjadi sepi seperti masa pertengkaran kita yang sudah-sudah. Memulainya dengan orang lain pasti akan sangat aneh dan menyulitkan.

Tapi apakah benar jika kamu memilih tetap bersamaku hanya karena kamu enggan sendirian?

Kita hanyalah dua orang yang terjebak kebiasaan. Kita merasa bahwa waktu yang kita lalui sudah terlalu lama sehingga melepaskan akan terasa sangat sia-sia. Kita mengira bahwa dunia terlalu sempit dan sepi untuk dilalui sendirian. Lantas kita berpikir bahwa lebih baik kita berdua meski terluka daripada sendiri namun bahagia. Namun barangkali kita lupa bahwa kita masih terlalu muda untuk menyerah kepada dunia.

Mari kita tengok dunia luar, sayang. Mencobai semua kemungkinan, dan barangkali kita akan menemukan orang-orang yang bisa lebih memahamimu dan mengerti aku.

Sayang, pertimbangkan baik-baik. Aku dan kamu memiliki mimpi. Aku dan kamu memiliki dua pikiran yang tidak lagi bisa berjalan beriringan. Sebelum ini berlanjut menjadi semakin menyakitkan, tidakkah lebih baik jika kita lepaskan?

Percayalah.

Melepaskan tidak selalu berarti kalah.

Karena kita harus sama-sama bahagia, meski tidak bersama.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan penggiat puisi

45 Comments

  1. Siti Maimunah II berkata:

    Sama persis kaya kisah gw. Dan gw akhirnya memberanikan diri buat menjelaskan walaupun berat karna udah ngejalanin hampir 4 tahun.

  2. Aulia Oktavicila berkata:

    Sekarang lebih baik kan?

  3. Siti Maimunah II berkata:

    Aulia Oktavicila alhamdulillaaah, lebih dari baik. Hehe :*

  4. Ninuek Oye Hokya berkata:

    Perasaan yg terwakili…. terimakasih bisa membaca ini… 🙂

  5. Hilmy Hudaya berkata:

    Sejatinya! Harusnya kita mampu lewati ini semua dan bukan menyerah utk berpisah… msh kulayak mnjadikanmu tambatan, wlopun itu hanya sebatas di angan dan khayalan..jlebbb!!

  6. Wawa Ong berkata:

    Aduh duh duh.. ini yg sdng terjadi skrg .. pening akh