Tengoklah Kembali Niat Kita Menikah, Kawan.

Masih berbicara tentang mental dan ruhiyah sebagai salah satu persiapan pernikahan. Di tulisan sebelumnya digambarkan dalam point ini, kita perlu membangun paradigma yang benar dan wacana yang proposional bahwa menikah berarti siap dengan ujian dan tanggung jawab, siap ketika dipergilirkan antara sabar dan syukur, dan siap untuk mengubah ekspektasi menjadi obsesi.
Namun yang tak kalah pentingnya dalam persiapan mental dan ruhiyah ini adalah kesiapan untuk menata Ketundukan pada setiap Ketentuan-Nya. Memastikan bahwa semua on the track dalam tiap bagiannya.

Advertisement

Sesuatu bisa dikatakan baik jika memenuhi 2 syarat : pertama niatnya baik, kedua caranya juga baik.

Misal seorang siswa yang dengan niatan untuk membahagiakan dan membuat bangga orang tua, maka saat ujian dia berbuat curang dengan mencuri jawaban dari pihak lain. Apakah ini baik? Meski niatnya baik, tapi caranya tidak baik, maka perbuatannya menjadi tidak baik pula.

Misal, seseorang yang menjadi imam sholat, memanjangkan surat yang dibaca agar orang tahu akan banyaknya hafalan Qur'an yang ia miliki. Apakah dikatakan baik? Tidak. Karena meski caranya baik, tapi niatnya tidak baik.

Advertisement

Begitu pula dengan pernikahan.
Jika menikah adalah sesuatu yang baik, maka segala sesuatunya kita pastikan juga baik dalam versi-Nya. Baik saat menata niatnya.
Baik dalam proses menuju pernikahannya (berkenalan, lamaran, dan sebagainya).
Baik pula saat mengarungi bahtera berikutnya.

Baik Dalam Niat

Advertisement

Saat akan melakukan sesuatu pasti ada niatnya. Pasti ada motivasinya. Nah saat kita akan menikah, silahkan tengok kembali hati kita. Silahkan lihat kembali niat kita. Apa niatnya? Apa motivasinya? Tentu beragam. Bisa karena ini. Mungkin juga karena itu.

Oleh karenanya Rasulullah memberi rambu rambu niat saat kita akan menggenapkan separuh agama. Tentu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ini begitu lekat dalam ingatan kita. Hadist yg tidak hanya berlaku saat mencari istri, tapi juga berlaku saat memilih suami.

“Wanita dinikahi karena empat hal : hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya, Maka pilihlah karena faktor agama, niscaya engkau beruntung” (HR. Al Bukhari)

Al-Qurthubi memaknai hadist ini sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (14/330), “bahwa empat hal di atas menjadi motivasi seseorang dalam menikahi seorang wanita. Ini adalah kabar tentang realita yang ada, bukan karena adanya perintah. Bahkan, zhahir hadits ini menunjukkan kebolehan meniatkan untuk masing-masingnya, tetapi meniatkan agama adalah lebih utama.”

Saat sebelum menikah, saya terhenyak dengan sebuah hadist lain ketika membaca salah satu buku Ust Salim A. Fillah yang redaksinya seperti ini :

“Barang siapa yang menikahi perempuan hanya karena kemuliaannya, Allah tidak akan menambah kepadanya kecuali kehinaan. Barang siapa yang menikahi perempuan hanya karena hartanya, Allah tidak akan menambah kecuali kemiskinan. Barang siapa yang menikahi perempuan hanya karena keturunannya, Allah tidak akan menambahkan kepadanya kecuali kerendahan” (HR Thabrani)

Sederhananya saya memahami hadist tersebut seperti ini :

Kalau kita menikah karena silau dan kagum akan nasab/keturunannya, tunggu saja sampai Allah membuka aib dan menurunkan kehormatannya.

Kalau kita menikah karena silau denga hartanya, tunggu saja sampai Allah mengujinya dengan kemiskinan.

Kalau ada laki-laki kaya yang datang meminang bukan berarti kita terima pinangannya nunggu dia nggak kaya lagi lho ya.. Tapi kalau kita menikah karena kekayaannya, silau dengan hartanya, maka bisa jadi dia akan menjadi suami kita tapi setelah itu Allah akan mempercepat hilangnya kekayaan yang kita puji-puji itu..
Begitu pula untuk urusan kebagusan wajahnya. Cantik dan gantengnya.

Apakah berarti kita tidak boleh menikah dengan laki-laki/perempuan yang bagus wajahnya, kaya dan dari keturunan terhormat? Tentu saja bukan demikian. Di sini menegaskan bahwa kebaikan agama lah yang jadi standar utama kita.

analoginya begini :

Agama : nilainya 1

Wajah cantik/tampan : nilainya 0

Kaya : nilainya 0

Keturunan terhormat : nilainya 0

Kalau dapat suami tampan /istri cantik dan kaya. Berarti nilainya 0

Kalau dapat suami/istri yang baik agamanya nilai 1

Dapat suami/istri yang baik agamanya, dan bagus wajahnya, nilainya 10

Dapat pasangan baik agamanya, bagus wajahnya, kaya, dari keturunan terhormat, wah itu yang asyik. Bonusnya banyak. Hehehe.

Sekali lagi, penting untuk menata ketundukan pada setiap ketentuanNya dalam tiap bagian pernikahan, termasuk untuk urusan niat.

Ini pengalaman pribadi, menjadi hikmah pribadi setidaknya bagi saya dan suami.

Niat kami berdua insya Allah seperti pasangan lainnya. Menjalankan perintah agama, mengikuti sunnah, menghindari fitnah dan dosa, membentuk keluarga dakwah yang nantinya bisa bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa yang lebih luas. Tidak ada yang salah menurut kami dengan niatan ini. Tapi saya dan suami punya lintasan pikiran yang lain. Mohon digaris-bawahi. Lintasan pikiran. Bukan niatan.

Saat itu suami punya lintasan pikiran bahwa kalau sudah nikah enak karena punya PW alias Pendamping Wisuda saat seremonial kelulusan. Yap, kami menikah memang saat suami saya masih berstatus mahasiswa, semester 9. Kondisi “mengharuskan” suami menambah 1 semester karena amanah masa jabatan beliau sebagai presiden BEM Unair saat itu belum tuntas. Hmm, pendamping wisuda. Pasti asyik ya, ada yang bisa digandeng saat wisuda. Tapi kondisi real ternyata berkata lain. 14 Maret kami menikah, April ternyata Alhamdulillah saya positif hamil. Dan di bulan April itu juga suami akan wisuda. Tapi beberapa hari sebelum yudisium saya mengalami pendarahan hebat yang mengharuskan saya bedrest 1 minggu lebih di tempat tidur dan melewatkan impiannya bergandengan saat wisuda. Tapi Alhamdulillah kandungan saya masih bisa dipertahankan sampai lahir Tsabita Kamila Hasana, putri pertama kami.

Niat saya menikah seperti tadi disebutkan di atas. Tapi saya juga punya lintasan pikiran, bukan niatan. Ah, enak ntar kalau sudah nikah ada yang nyari maisyah (nafkah), ndak lagi ngerepotin orang tua, ndak perlu bingung masalah maisyah.

Tapi yang terjadi berbeda. Setelah menikah kami sepakat keluar dari rumah orang tua untuk segera belajar mandiri dan di sana saya merasakan ada sesuatu yang salah dengan lintasan pikiran tadi. Kami pernah ada dalam kondisi minim uang. Pernah hanya bisa beli telur 2 biji, beras 2 kg. Pernah juga “terpaksa” beli soto ayam di langganan kami yang hanya dengan uang 5000 bisa dapat kuah soto plus potongan ayam yang tidak sedikit. Kenapa beli soto? Biar kalau kuah sotonya habis, sisa potongan ayamnya bisa dicuci dan diolah lagi untuk bikin sop dan sebagainya.

Saat itu kami mencoba introspeksi. Dan baru menyadari bahwa apa yang terjadi pada bulan-bulan di awal pernikahan kami saat itu mungkin adalah teguran Allah untuk meluruskan paradigma kami. Bagi suami saya, PW mungkin tidak perlu dijadikan sebuah lintasan pikiran apalagi naudzubillah jika menjadi pemicu kesombongan. Bagi saya, kesulitan ekonomi saat itu seolah menjadi tamparan keras dari Allah untuk mengingatkan bahwa rizki itu bukan dari suami. Tapi mutlak dari Allah Sang Penjamin Rizki..

Berdua kami tersadar, menangis dan beristighfar bersama. Memohon ampun atas khilaf yang mungkin tidak pernah kami sadari selama ini dalam melalui proses menuju pernikahan. Alhamdulillah sejak saat itu kehidupan rumah tangga termasuk kondisi ekonomi kami berangsur-angsur membaik.

Saat dalam obrolan ringan bersama teman, saya menceritakan kisah ini. Lalu di antara mereka ada yg bilang. Ah mbak, kamu terlalu sensitif. Ujian yang kamu lewati baik tentang batalnya mendampingi suami wisuda ataupun tentang rizki terasa sulit itu bukan karena salah niat atau salahnya lintasan pikiran saat akan menikah. Ya itu memang siklus ujian dari Allah. Ndak ada hubungannya dengan niat atau lintasan pikiran saat akan menikah.

Saya cuma jawab simpel sambil senyum. Nah kan tadi di awal sudah saya bilang. Bahwa ini pengalaman saya pribadi. Jadi hikmah pribadi, setidaknya bagi saya dan suami. Mau diambil hikmahnya, monggo. Tidak diambil hikmahnya juga tidak masalah.

Dan tak lama kemudian saya mendapatkan sebuah kisah hikmah lain yang menjadi penguat pemahaman saya pribadi saat itu. Kisah Sufyan Ats-Tsauri yang diabadikan oleh al-Mizzi (654 H- 742 H) dalam kitabnya, Tahdzibul Kamil fi Asma’ir Rijal (11/194-195), bisa menjadi renungkan kita bersama.

Yahya bin Yahya an-Naisaburi menceritakan, “Suatu hari, aku berdampingan dengan Sufyan ats-Tsauri. Tiba-tiba ada seorang lelaki mendatangi beliau seraya bertanya, “Wahai Abu Muhammad, aku ingin mengadu kepadamu tentang keadaan istriku. Aku menjadi lelaki yang paling hina di matanya.”
Maka, Sufyan pun menggeleng-gelengkan kepala beberapa saat. Kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata “Mungkin, dulu kamu menikahinya karena ingin mendapatkan kehormatan.” Lelaki itupun mengakuinya, “Iya, betul wahai Abu Muhammad.”

Sufyan pun berpesan, “Barang siapa pergi karena mencari kehormatan, ia pasti diuji dengan kehinaan. Barangsiapa mengerjakan sesuatu lantaran dorongan harta, niscaya ia akan diuji dengan kemiskinan. Barangsiapa mengerjakan sesuatu sebab dorongan agama, Allah akan menghimpun kehormatan dan harta bersama agamanya.”

Lalu, Imam Sufyan mulai bercerita, ‘Kami adalah empat bersaudara, Muhammad, Imran, Ibrahim, dan aku sendiri. Muhammad adalah anak sulung, Imran adalah anak bungsu. Sedangkan aku berada di tengah-tengah. Tatkala Muhammad ingin menikah, ia menginginkan kemuliaan nasab. Maka ia menikahi wanita yang lebih tinggi kedudukannya. Kemudian Allah mengujinya dengan kehinaan. Sedangkan Imran, (saat menikah) ingin mendapatkan harta. Maka ia menikahi wanita yang lebih kaya dari dirinya. Allah kemudian mengujinya dengan kemiskinan. Keluarga wanita mengambil seluruh yang dimilikinya, tidak menyisakan sedikitpun. Aku pun merenungkan nasib keduanya. Sampai akhirnya Ma’mar bin Rasyid datang menghampiriku. Aku pun berbincang dengannya. Aku ceritakan kepadanya peristiwa yang menimpa para saudaraku. Ia mengingatkanku dengan hadis Yahya bin Ja’dah tentang wanita yg dinikahi karena 4 hal.

Lalu bagaimana niat yg benar? Apakah niat kita sudah benar? Setidaknya dari hadist berikut ini bisa menjadi acuan untuk kita :

“Barangsiapa yg menikahi seorang perempuan karena ingin menjaga pandangan mata, memelihara kemaluan dari berbuat zina, atau menyambung tali persaudaraan, maka Allah akan mencurahkan keberkahan pada keduanya” (HR thabrani)

Setidaknya kali ini kita bicara niat yg benar. Belum bicara proses yg benar. Karena kita ingat, sesuatu bisa dikatakan baik jika memenuhi 2 syarat : pertama niatnya baik, kedua caranya juga baik

Apakah persiapan mental dan ruhiyah menghadapi pernikahan dg memastikan semua on the right track untuk urusan niat sudah kita lakukan? Silahkan tengok kembali niat kita untuk menikah. Karena niat itu seperti surat. Salah tulis ALAMAT, akan sampai salah TEMPAT

Jadi, sudah benarkah niat kita untuk menikah?

#sama2 belajar
#belajar sama2
#Karena menikah tak sekedar tentang cinta

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Hanya seorang manusia biasa yang berusaha memetik hikmah....

3 Comments

  1. Ahmad Robi berkata:

    Apakah ini referensi dari buku Bahagianya Merayakan Cinta??

  2. Titik Kadarsih berkata:

    alhamdulillah terimakasih atas artikelnya,,,jadi berusaha memperbaiki niat untuk menikah.

CLOSE