Upaya Hadapi Penghindaran Pajak di Masa Pandemi Covid-19

Dalam konteks global, peran negara-negara di dunia dalam melawan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) belum selesai. Eskalasi penyebaran virus masih terjadi dan sangat mempengaruhi berbagai aspek khususnya di bidang perpajakan. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, penerimaan pajak diprediksi akan menurun 5,9% dibanding realisasi tahun 2019 sekitar Rp1.254,1 triliun.

Advertisement

Hal tersebut berdasarkan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020—sesuai outlook pemerintah—yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020. Sementara itu, riset DDTC pun menghasilkan prediksi yang berkisar antara Rp1.218,3 hingga Rp1.223,2 triliun atau 97,2% hingga 97,6% dari outlook pemerintah. Dengan kata lain, kinerja pemerintah pajak tahun ini tumbuh antara -8,5% hingga -8,2% dan akan terjadi penghindaran pajak.

Penghindaran pajak atau juga dapat disebut perlawan terhadap pajak merupakan hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak. Akibatnya, penerimaan kas negara pun berkurang. Perlawanan tersebut dibagi menjadi dua, yakni perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Perlawanan pasif terjadi di luar kendali wajib pajak, sedangkan perlawanan aktif berasal dari pihak wajib pajak itu sendiri.

Sebagai contoh, bencana nonalam yang sedang melanda seluruh dunia saat ini menjadi perlawanan pasif karena berdampak kepada Pajak Penghasilan (PPh) baik dari perorangan maupun kelompok. Tak dapat dipungkiri, banyak aktivitas ekonomi yang terhambat akibat keterbatasan mobilitas di dalam negeri atau antarnegara. Alhasil, para wajib pajak mengalami penurunan penghasilan sehingga tak bisa membayar pajak secara maksimal. Hal itu terbukti per Maret 2020 ketika PPh yang berasal dari karyawan sekitar 4,94%, sedangkan tahun 2019 sebesar 14,7%. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berbasis impor juga mengalami pertumbuhan negatif akibat menurunnya perdagangan internasional.

Advertisement

Jika wajib pajak melakukan perbuatan-perbuatan yang ditujukan langsung kepada pemerintah untuk tujuan penghindaraan pajak, hal tersebut menjadi perlawanan aktif. Bentuknya antara lain adalah tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (pengelakan pajak). Bentuk-bentuk perlawanan aktif itu dilakukan wajib pajak di dalam lingkup perpajakan. Contohnya, perusahaan lebih memilih memberikan tunjangan dalam bentuk uang dibanding natura karena beban tunjangan tersebut dapat menjadi biaya dan dapat digunakan dalam laporan fiskal. Padahal bagi karyawan, tunjangan uang merupakan objek pajak penghasilan.

Pandemi, Resesi, dan Pajak

Advertisement

Lantas, apa upaya yang dapat kita lakukan dalam menghadapi perlawanan terhadap pajak di masa pandemi? Hal pertama yang perlu diingat adalah sulit diprediksi seberapa lama pandemi akan berlangsung beserta dampak yang ditimbulkannya. Kedua hal tersebut mengarah kepada prospek ekonomi tahun ini dan tahun yang akan datang. Durasi pandemi juga akan menentukan jenis dan besaran instrumen fiskal pemerintah di banyak negara.

Saat ini, kita bisa liat bahwa opsi yang diambil oleh berbagai negara adalah kebijakan fiskal yang ekspansif. Belanja yang besar dan relaksasi pemungutan pajak adalah kunci utama dengan tujuan menyelamatkan ekonomi. Satu hal lain yang pasti, peran sentral pemerintah dalam mendorong perekonomian jelas sangat penting di situasi seperti ini. Kegiatan konsumsi, investasi, dan perdagangan internasional pasti terganggu dan cenderung menurun. Oleh karena itu, pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya akan menentukan nasib negara.

Menurut Blachard (2020), kebijakan fiskal pemerintah di masa pandemi harus fokus terhadap tiga hal. Fokus pertama ialah penanggulangan aspek kesehatan masyarakat terkait ketersediaan fasilitas hingga riset pengobatan. Kedua, instrumen fiskal berperan dalam membantu dan menyelamatkan setiap sektor atau kelompok masyarakat yang terdampak pelemahan ekonomi. Faktor terakhir berkaitan dengan keperluan mendorong permintaan total. Sebab, ketersediaan permintaan dalam masyarakat akan tetap menjamin berputarnya laju perekonomian.

Ancaman resesi menjadi pertimbangan banyak pemerintah negara untuk menerbitkan berbagai kebijakan relaksasi pajak. Tujuannya tidak lain adalah mencegah pengangguran, menjaga kestabilan investasi, menjaga arus kas sektor usaha, mendorong konsumsi, dan sebagainya (OECD, 2020). Indonesia pun merenspons cepat resesi melalui relaksasi pajak dengan tujuh belas produk hukum, mulai dari Keputusan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, Putusan Menteri Keuangan, Peraturan Perundang-Undangan, hinga Undang-Undang.

Tujuan produk-produk hukum itu antara lain mencakup mempertahankan daya beli masyarakat, memberikan ruang cash flow perusahaan, mengompensasi switching cost atau biaya sehubungan perubahan negara asal impor dan tujuan ekspor, merelakasasi administrasi pajak, serta mendukung sektor kesehatan. Anggaran yang disediakan untuk berbagai insentif pun terbilang besar, Rp12,06 triliun untuk insentif pajak bagi kegiatan usaha dan Rp9,05 triliun untuk bidang kesehatan.

Memaknai Peran Pajak

Harus ada kajian ulang terhadap peran pajak dan relaksasinya di era pandemi ini. Ada beberapa hal penting yang dapat kita jadikan refleksi dan pelajaran berharga. Pasalnya—dalam perubahan paradigma—pemerintah melakukan pergeseran dari fungsi penerimaan atau budgeter menjadi fungsi mengatur atau regulerend.

Menurut Wakil Direktur Centre for Tax Policy and Administration OECD Grace Perez-Navarro—dikutip dari Tax Notes—pandemi justru harus dijadikan momentum dan waktu yang baik untuk strategi kebijakan fiskal baru, terutama pajak. Menurutnya, belajar dari pengalaman masa lalu, banyak negara yang justru lebih mudah mengenalkan jenis pajak baru pada reformasi pajak. Di Indonesia, momentum seperti itu juga ditunjukkan dengan adanya pengenaan pajak digital khususnya PPN atas impor produk digital.

Selanjutnya, upaya pemberian insentif pajak di kala pandemi rentan terjadi penyalahgunaan dan salah sasaran. Pasalnya, penyusunan kebijakan umumnya dilakukan dalam waktu yang singkat dan keterbatasan otoritas pajak dalam melakukan pengawasan di saat pandemi (OECD, 2020). Sebenarnya, insentif pajak berpotensi akan meningkatkan tax axpenditure, tetapi tetap diberikan untuk mencegah pemutusan hubungan kerja, penutupan usaha, ataupun meningkatnya sektor informal dalam perekonomian. Maka, prinsip good governance harus tetap menjadi rujukan dalam mendesain insentif pajak dengan menelusuri tata cara pelaporan dan pengawasannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Kita jadi sulit bersyukur, jika kita sibuk melihat privilage Orang lain. Sibuk membandingkan dan lupa untuk merenungkan bahwa sejatinya setiap orang itu punya keistimewaan. So, menjadi diri sendiri itu, lalu mengevaluasi diri jauh lebih baik ketimbang sibuk urus privilage orang lain.

CLOSE