Menilik Perjuangan Perempuan Hadapi Kekerasan dan Patriarki Melalui 5 Film Indonesia

film Indonesia tema perempuan

Kalau boleh jujur, banyak sekali hal-hal yang meresahkan ketika menjadi perempuan di Indonesia. Mulai dari kepercayaan-kepercayaan patriarki yang masih mengakar kuat hingga kasus kekerasan seksual pada perempuan yang terus menerus ada. Sedih memang, tapi inilah realita menjadi seorang perempuan di negeri ini.

Menurut data dari Komnas Perempuan, hingga November 2021 kemarin sudah terdapat 8.800 kasus kekerasan seksual pada perempuan. Kalau melihat berita tentang hal ini beberapa waktu ke belakang, jumlah tersebut bukan tak mungkin akan bertambah. Seperti halnya kasus perkosaan 12 santriwati di pesantren yang harusnya menjadi tempat belajar yang aman. Sebelumnya, juga terdapat kasus seorang perempuan yang mengakhiri hidup karena dipaksa untuk melakukan aborsi dan dikenai teror.

Fenomena kekerasan seksual ini bagaikan gunung es. Walaupun sudah berbagai kasus yang muncul di permukaan dan menjadi viral, sebenarnya masih banyak orang yang mengalami hal serupa, tapi memilih diam. Banyak alasan korban untuk mengubur luka itu dalam-dalam sendirian.

Beberapa potret menyedihkan itu menjadi perhatian bagi sineas Indonesia untuk turut menggambarkan dengan jelas perjuangan perempuan, khususnya penyintas kekerasan seksual. Melalui film tersebut turut diangkat isu-isu seputar salah persepsi peran gender, kesetaraan, hingga perlawanan.

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak menceritakan tentang perjuangan Marlina mencari keadilan atas kasus perkosaan yang dialaminya

Film yang berlatar belakang di Sumba, NTT ini menggambarkan dengan baik potret patriarki. Para perempuan dianggap sebagai pelayan dari urusan dapur hingga kasur. Film dimulai dengan kedatangan sosok pria yang datang dan meminta Marlina untuk membuatkan makanan. Mirisnya lagi, hal ini berakhir pada kasus pemerkosaan.  Perasaan marah atas perlakuan yang sangat tidak manusiawi tersebut mengantarkannya menjadi pembunuh yang mencari keadilan atas dirinya sendiri.

Sutradara Mouly Surya nggak tanggung-tanggung menyelipkan naskah “Malam ini kau beruntung mendapat bonus tujuh laki-laki.” Hal ini jelas menggambarkan anggapan bahwa perempuan bebas diperlakukan seperti apapun, termasuk disetubuhi tanpa consent, dengan anggapan “Toh, mereka akan puas juga.”

Perjalanan Marlina tentunya panjang dan berliku. Dengan perasaan marah ia menenteng kepala orang yang memerkosanya. Ia berharap akan menemukan keadilan dan perlindungan setelah melapor ke kantor aparat penegak hukum yang berlokasi jauh dari rumah. Namun, apa yang didapatkannya tak sesuai yang diharapkan.

Seperti yang dikutip dari Kompas, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawat mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual sering tidak ditangani dengan baik oleh aparat penegak hukum. Hal itu datang dari pemberi stigma negatif pada korban yang melapor berujung pada victim blaming dan dikecilkan pengalamannya. Meragukan kebenaran korban terjadi pada kasus Marlina yang berakhir pulang tanpa menunjukkan “bawaannya.”

Hal ini ditunjukkan pula melalui data Komnas Perempuan di mana dari 24.786 kasus kekerasan sepanjang tahun 2016-2020, sebanyak 7.344 kasus atau 29.6% merupakan permerkosaan. Dari kasus tersebut kurang dari 30% yang diproses hukum.

27 Steps of May menjelaskan bahwa efek traumatis bagi korban kekerasan seksual merupakan sesuatu yang dibawa sampai mati. Film ini berkaca dari kasus kerusuhan Mei 1998 di mana terdapat 85 korban pemerkosaan lain

27 Steps of May merupakan gambaran dari menyedihkannya kehidupan korban dan keluarganya karena trauma masa lalu. Tak hanya tokoh utama, sang ayah juga dilingkupi perasaan bersalah karena kejadian perkosaan terhadap anaknya tersebut. May sendiri merupakan penjahit baju Barbie, sedangkan sang ayah merupakan petinju yang ia lakoni demi melampiaskan kemarahannya karena tak bisa menjaga May.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini