Karena Remy Sylado Puisi Tak Lagi Harus Sepahit Chairil atau Seromantis Neruda

Ia adalah anak mbeling yang menjadi momok bagi para orang tua di zamannya

Generalis tapi spesialis. Kalimat itu mungkin kurang tepat untuk menerangkan sosok yang mengambil nama pena dari notasi musik lagu “All My Loving” milik The Beatles: Remy Sylado. Namun, istilah yang sering dipakai para pekerja kiwari itu setidaknya bisa memberikan semacam gambaran betapa luar biasa sosok yang mulanya saya kira cuma seorang pengarang ini. 

Adalah keunikan dalam gaya penulisannya membuat saya mencari tahu lebih banyak karyanya melalui mesin pencari, yang kemudian turut menyertakan hasil untuk nama Yapi Tambayong, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda dan Dova Zila, selain tentunya Remy Sylado. 

Dari sini kemudian jagatnya tersingkap untuk saya.

Dunia Remy Sylado teramat luas untuk dijelajahi seorang diri

Pemilik nama lahir Japi Panda Abdiel Tambajong ini menggunakan nama pena yang berbeda untuk menulis hal-hal berbeda, mulai dari kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman populer, musik, dramaturgi, bahasa dan teologi. 

Adapun nama Remy Sylado kerap digunakan untuk menulis sastra, Yapi Tambayong untuk karya semacam esai, dan Alif Danya Munsyi untuk hal tentang bahasa. Setidaknya begitu saya mengingatnya. 

Di luar itu, Remy Sylado juga dikenal sebagai mantan wartawan, aktor, pelukis, musisi dan banyak lagi yang mungkin bisa terlewat kalau harus disebutkan. Singkat kata, ia serba bisa. Namun, ia bukan seseorang serba bisa seperti kebanyakan pekerja didikan para bos start-up kekinian yang berhasil meringkas jumlah pekerja. 

Bagi Remy, menjadi serba bisa bukan keistimewaan. Merujuk pada kitab Torah, ia menyampaikan bahwa manusia diciptakan berdasarkan gambaran ilahi dan dikaruniai banyak kemampuan yang tak dimiliki hewan. Oleh karena itu, menjadi wajar jika manusia menguasai banyak hal. Yang membedakan adalah apakah manusia itu ahli di banyak bidang, atau hanya sekadar menjadi tukang.

“Kita enggak punya perjanjian dengan Tuhan, bahwa kita harus memilih salah satu saja dari kerja budaya. Jadi, sedapat mungkin apa yang kita mau, ya kita lakukan. Namun, juga di situ harus menjadi ahli, bukan tukang,” begitu kata Remy dikutip dari buku ‘Questioning Everything’.

Remy bukan tukang dalam banyak bidang yang ia tekuni, melainkan ahli yang punya kontribusi. Hal ini bisa divalidasi lewat sederet penghargaan dan juga terobosan yang ia lahirkan. Salah satunya adalah puisi mbeling yang menggugat pakem kesusastraan secara menyeluruh. Dengan adanya puisi mbeling, berpuisi tak lagi harus sepahit Chairil atau tak melulu harus seromantis Neruda. 

Dalam komentarnya untuk buku kumpulan puisi A. Slamet Widodo berjudul “Ijab Kibul”, Remy mengatakan bahwa setiap orang yang yakin mengatakan puisi-puisinya adalah puisi, punya kemerdekaan untuk menjadi dirinya sendiri. 

Meski demikian, ia tidak serta merta melepaskan puisi sebagai sebutan untuk tulisan ngasal. Karena sekalipun mbeling atau terkesan main-main, harus ada tanggung jawab untuk membuktikan nilai-nilai puisi, yang menurutnya ditentukan oleh rasa dan akal, pengalaman keindahan dan pengamatan kehidupan, disertai kecendekiaan dan keterampilan.

Anak mbeling yang menjadi momok bagi para orang tua di zamannya

Remy Sylado saat mengisi Mimbar Selasar bertajuk “Menggugat Indonesia” di Selasar Sunaryo Art Space, 27 Januari 2017 | Dokumentasi Luthfi/hipwee

Remy bisa jadi sangat dikenang oleh para anak muda era flower generation yang kini telah menjadi orang tua sebagai semacam panutan. Bagi orang tua pada era itu yang kini telah semakin lanjut usia Remy adalah momok. Narasi Orexas yang ia muat di majalah Aktuil merupakan salah satu penyebabnya. 

Orexas yang kemudian ia lanjutkan menjadi materi untuk proyek musik Remy Sylado Company dan diprosakan menjadi novel berjudul sama bisa disebut sebagai karya yang nakal nyaris kurang ajar karena menggugat dan menghujat para orang tua yang sewenang-wenang. 

Petikan lirik lagu dalam album “Orexas” yang merupakan fragmen dari teater Orexas berikut ini mungkin cukup menjelaskan mengapa ia menjadi semacam panutan bagi anak muda dan momok bagi para orang tua zaman itu.

“[…] mereka melawan pada orang tua sendiri yang dibilangnya munafik. Konon ayah larang anaknya menghisap ganja, padahal mereka sendiri mabok di nightclub. Ibunya bilang tabu jika anaknya ngomong soal seks padahal mereka sendiri main gila. Itulah musabab yang menyebabkan anak mbeling bikin itu Orexas.”

“Setelah mati datanglah hidup yang baru”

Membaca tulisan-tulisannya, mendengar lagu-lagunya, dan menyimak pidato-pidato kebudayaan seperti yang sempat saya saksikan di Bandung tahun 2017 lalu, saya tidak bisa tidak bersepakat dengan apa yang ia coba sampaikan. 

Selain tentu karena pemikiran saya yang belum seberapa untuk bisa mendebat dan berdebat seminggu suntuk dengan pemegang Kartu Pers Nomor Satu ini, juga karena apa yang ia sampaikan sejauh ini memang layak untuk diterima. 

Pun nanti pemikiran saya berkembang cukup untuk mengkritik, saya tetap tidak akan bisa berdebat seminggu suntuk dengan orang nakal, yang oleh M.A.W Brouwer disejajarkan dengan Voltaire dan Boris Pasternak ini. Sebab, Japi Panda Abdiel Tambajong yang lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945 telah berpulang pada hari Senin 12 Desember 2022 dalam usia 77 tahun. 

Seperti ia nyanyikan dalam sebuah lagu, “setelah mati datanglah hidup yang baru”. Sekarang lah waktu untuk memulai hidupmu yang baru, Pak Remy Sylado. Selamat jalan. Terang jalan dan bersih tempatmu kini, sebagaimana terang dan bersih kami setiap melihatmu tampil dengan busana serba putih. Saya akan selalu berusaha untuk merdeka dari kungkungan mimpi sambil terus mencoba mendapatkan tempat sila itu. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Editor