Alone – [1] Keberangkatan

Alone Arumi E

Ernest nekat meninggalkan pertunjukan musik yang seharusnya ia hadiri untuk terbang ke Kalimantan. Baginya, urusan ini bagai hidup dan mati. Apa yang sebenarnya Ernest cari?
***

Aku merapatkan jaket kulitku, membenamkan topi petku semakin dalam ke kepalaku, lalu memperbaiki letak kacamata hitamku. Aku bukan selebriti populer di negeri ini,tetapi sebagai pianis muda yang cukup diperhitungkan, sering kali ada satu atau dua orang yang mengenaliku bila aku sedang berada di tempat umum. Dan saat ini, aku sedang tak ingin dikenali siapa pun. 

Kuletakkan tas kulit berukuran sedang ke atas pangkuanku. Tak banyak yang aku bawa. Hanya beberapa pakaian dan perlengkapannya. Kupeluk tasku itu erat-erat, hingga posisi dudukku sedikit membungkuk. Posisi ini akan semakin menyamarkan rupaku. Udara hari ini tampak cerah. Sejauh ini tak ada pesawat yang ditunda. Semoga begitu juga dengan pesawatku nanti. 

Kulihat jam tanganku. Masih dua puluh menit lagi jadwal keberangkatan pesawatku. Aku menghela napas. Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Padahal aku sudah tak sabar ingin segera meninggalkan Jakarta ini. Sebelum orang-orang yang tadi aku tinggalkan menyadari kepergianku yang tanpa pamit, lalu mereka panik dan mulai mencariku. Sejak subuh tadi aku sudah mematikan ponselku. 

Menunggu keberangkatan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com

Aku sengaja memutuskan kontak, aku tak ingin ada yang bisa menghubungiku. Aku punya rencana pribadi, sebuah misi penting yang mungkin akan mengubah kehidupanku di masa depan. Ini pertama kalinya aku berani nekat melakukan hal seperti ini. Setelah selama bertahun-tahun apa yang kulakukan selalu harus mengikuti jadwal yang telah ditentukan. Kembali aku menghela napas, lalu tersenyum senang saat kudengar pengumuman pesawatku telah siap lepas landas dan seluruh penumpang diminta untuk segera memasuki pesawat.

Aku merasa beruntung mendapat kursi di samping jendela. Posisi ini adalah favoritku. Aku senang melihat keluar setelah pesawat lepas landas, memandangi rumah-rumah dan bangunan yang mengecil, lalu menatap awan selama pesawat mengangkasa. Ada dua kursi lagi di sampingku. Keduanya diduduki dua gadis muda yang menurut perkiraanku usianya tidak beda jauh denganku. Aku semakin menurunkan topiku hingga separuh wajahku tak terlihat.

“Lagi ngumpet ya, Mas? Atau kamu introve yang nggak suka berinteraksi dengan orang lain?”

Suara itu membuatku agak terperanjat, aku mendongak, lalu melirik ke sampingku. Ternyata gadis yang duduk di sebelahku itu sedang menatapku seolah menunggu jawaban.

“Mbak ngomong sama saya?” tanyaku memastikan, agar tidak salah pengertian.

“Ya iya, kan ‘kamu duduk di sebelah saya dan saya panggil ‘mas’,” jawab gadis itu tanpa senyum.

“Benar juga. Tapi, aku nggak sedang ngumpet, aku hanya malas mengobrol dengan orang asing. Maksudku, kita belum saling kenal.”

“Kalau begitu, kenalkan, Aku Prily dan ini temanku Sonya.” Tanpa diminta gadis itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya kepadaku.

Aku melirik tangannya sekilas, lalu terpaksa menerima jabat tangan tersebut. Sekarang, aku harus berpikir cepat, sebaiknya, aku mengaku bernama siapa? Aku tak ingin gadis itu tahu namaku yang sebenarnya.

Penumpang sebelah Ernest | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com

“Andi,” sahutku setelah jeda hampir satu menit. Entah bagaimana nama itu terlintas begitu saja.

Gadis bernama Prily itu tidak berkomentar, dia hanya mengangguk lalu menarik tangannya, kemudian dia sibuk mengobrol dengan temannya.

Aku kembali meluruskan kepalaku ke arah depan, lalu memasang headphone dan mulai menyalakan musik dari ponselku. Kuputar daftar musik pilihanku yang ada di salah satu aplikasi streaming pemutar musik. 

Karena sejak kecil telingaku dijejali alunan komposisi musik klasik, maka selera musikku pun tak jauh-jauh dari musik klasik yang mungkin bagi anak muda sekarang dianggap kuno. Lagu-lagu yang masuk daftar musik favoritku lebih banyak berupa musik instrumental dari piano tunggal, biola, atau saksofon. 

Dalam beberapa menit, aku sudah tenggelam dalam alunan musik yang menggetarkan gendang telingaku. Tak terdengar suara lain di sekelilingku. Kupejamkan mata dan kurebahkan kepala di sandaran kursi. Kunikmati ketenangan ini, berharap waktu segera berlalu dan saat terbangun, aku sudah sampai di kota tujuanku. 

Entah berapa lama aku tertidur, aku terlonjak ketika merasakan gerakan pesawat yang turun tiba-tiba dengan cepat. Pesawat terasa oleng. Refleks aku menoleh ke penumpang sebelahku yang wajahnya terlihat tegang. Gadis di sebelahku melotot dan mulutnya komat kamit.

Aku menoleh ke jendela, tampak langit menggelap. Mungkinkah cuaca memburuk tiba-tiba menyebabkan turbulensi tadi? Aku menatap ke atas, dan melihat lampu “Kencangkan Sabuk Pengaman” menyala, secepatnya aku memasang sabuk pengaman. Namun, tak lama keadaan pesawat kembali stabil. Langit sore di luar pesawat terlihat mulai lebih terang. Lampu yang memerintahkan mengencangkan sabuk pengaman dimatikan. Aku menghela napas lega. 

Kulihat jam tanganku, jarum jam menunjukkan pukul lima sore. Perbedaan waktu satu jam antara Indonesia bagian barat di Jakarta, dengan Indonesia bagian timur di Kalimantan, menyadarkan aku, ini artinya sudah hampir dua jam pesawat ini terbang. Tak lama lagi akan sampai di Samarinda, dan artinya sekarang ini, sudah pukul enam sore waktu setempat. 

Aku melirik diam-diam ke sampingku. Ekspresi wajah gadis di sebelahku sudah kembali normal. Dia kembali asyik mengobrol dengan temannya, seolah dengan cepat sudah melupakan goncangan menegangkan tadi. Aku bersyukur gadis itu tak berniat mengajakku berbincang lebih jauh setelah kami berkenalan.

“Aku tahu siapa kamu sebenarnya.”

Lagi-lagi sebuah kalimat membuat mataku membelalak, aku menoleh, ternyata gadis di sebelahku sudah menatap ke arahku. Keningku berkerut, terpikir sesuatu yang absurd, apakah gadis itu bisa membaca pikiranku? Kenapa gadis itu mendadak bicara usai aku meliriknya diam-diam dan memikirkan sesuatu tentangnya?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis yang telah menerbitkan lebih dari 30 novel, di antaranya adalah "Aku Tahu Kapan Kamu Mati" dan "Merindu Cahaya de Amstel"

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi