Aku ingat, aku bermain piano, sangat mahir. Banyak orang menontonku, mereka seringnya kagum, terdiam dan terpana selama tanganku menekan tuts-tuts piano itu. Mereka baru bertepuk tangan setelah aku selesai memainkan piano itu. Piano besar berwarna putih.
Aku meringis saat kurasakan desir nyeri entah di bagian mana tubuhku.
Mataku membelalak ketika akhirnya aku ingat, aku seorang pianis yang sering tampil konser di beberapa pertunjukan musik klasik. Pernah tampil di televisi nasional juga mengiringi juara kontes menyanyi paling hits saat ini yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Dan malam ini, harusnya aku hadir di konser tunggalku. Rencananya konser itu berlangsung dua hari. Semua sudah dipersiapkan sejak tiga bulan lalu.
Namun di pagi hari ini, aku pergi dari rumah. Sendirian, kabur diam-diam, sebelum Mama menyadari kepergianku. Ponsel kumatikan seharian hingga tak ada yang bisa menghubungiku.
Baru sekarang terpikir olehku, bagaimana keadaan di gedung konser? Pasti panitia penyelenggara acara konser itu panik. Dan Mama, aku bisa membayangkan wajah marah Mama. Pasti tak jauh beda dengan wajah geramnya ketika di usia sepuluh tahun diam-diam aku bolos les piano. Ketika itu, aku lelah, bosan dan jenuh. Aku ingin bermain bersama teman-temanku yang lain. Aku ingin melakukan kegiatan lain, bukan hanya latihan memainkan piano setiap hari.
Apa yang dilakukan Mama saat ini? Apa Mama cemas karena aku hilang? Atau marah karena aku berani melawan perintah dan keinginannya?
“Aaargh!” erangku agak keras saat aku berusaha mengangkat kepala dan punggungku. Aku merasakan nyeri yang menyengat.
Oh, apalah artinya masih hidup jika aku tak bisa bergerak?
Kini aku ingat apa yang terjadi sebelum aku berada di sini. Wajah gadis yang duduk di sebelahku sangat panik, aku masih sempat mendengar dia dan temannya berteriak histeris, kemudian mengucapkan berbagai doa juga dengan suara keras.
Pesawat berguncang semakin hebat. Anehnya, aku tidak ikut berteriak. Aku hanya duduk diam, memandangi lampu perintah mengencangkan sabuk pengaman.
Aku terus memandangi lampu itu, hingga pesawat turun mendadak dengan cepat, nyawa rasanya tertinggal di atas. Lalu masker oksigen berjatuhan di depan wajah kami. Aku ingat kalau aku buru-buru mengambil benda itu lalu memasangnya ke hidung dan mulutku.
Aku masih sempat melirik gadis di sebelahku, gadis itu memejamkan mata sambil berteriak-teriak. Saking paniknya, dia tidak sadar harus segera memasang masker oksigen ke hidung dan mulutnya. Aku bermaksud membantu memasangkan masker oksigen itu untuknya, tapi mendadak gadis itu membuka mata, lalu dengan panik memukul-mukul tanganku. Entah apa yang ada di pikirannya.
Aku pun kembali menyandarkan punggung ke kursi.Tanganku mencengkeram erat-erat pegangan kursi. Aku memejamkan mata dan berdoa, berharap ini hanya turbulensi biasa, keadaan akan segera kembali normal.
Namun satu menit kemudian aku langsung mendapat jawaban, doaku tidak terkabul. Ketika mendengar suara ledakan samar, aku menoleh ke jendela. Aku membelalak saat melihat sayap pesawat terbakar, api menjilat-jilat, membesar dengan cepat …
Itu ingatan terakhirku tentang pesawat yang tadi kutumpangi. Dan kini aku berakhir di sini dalam keadaan tubuh serasa remuk redam.
Pesawat itu terjatuh I Ilustrasi oleh Hipwee
“Pesawat itu jatuh,” desisku, penuh rasa kecewa dan penyesalan.
Apakah saking marahnya padaku, tanpa sadar Mama mengutuk agar aku mengalami kecelakaan? Dan kutukannya benar-benar terjadi? Ah, ibu macam apa yang tega mengutuk anaknya agar celaka?
Aku melirik ke kanan dan ke kiri, aku putar mataku ke atas, lalu ke bawah. Mataku masih mencoba terbiasa dengan kegelapan ini. Namun samar-samar aku melihat cahaya. Aku mencoba menggerakkan kepalaku untuk menoleh. Aku menahan rasa sakit, hingga akhirnya aku bisa menengok ke kanan. Cahaya tadi ternyata asalnya dari puing pesawat yang terbakar. Asap tebal juga membumbung dari sana.
Aku tak tahu di mana ini. Aku rasa ini adalah hutan, kulihat sekelilingku dipenuhi pohon-pohon tinggi berdaun lebat.
Agak lama kemudian, mataku semakin terbiasa dengan kegelapan ini. Sesekali cahaya rembulan menerobos di sela dedaunan yang bergerak-gerak tertiup angin.
Aku meringis, rasa nyeri menyengat lagi. Kali ini aku bisa merasakan asalnya dari tangan kananku. Aku ingin melihat lebih jelas apa yang ada di sekelilingku. Susah payah akhirnya aku bisa mengangkat punggungku, aku miringkan tubuhku ke kiri dengan menopang pada lengan kiriku.
Aku tersentak, kerongkonganku tercekat, mulutku menganga, mataku membelalak. Tepat di samping kiriku, berjarak sekitar setengah meter, ada wajah menghadap ke arahku, lehernya terpelintir. Saking terkejutnya, punggungku kembali jatuh.
“Aaaarrgh!” teriakku. Sumpah, rasanya sakit sekali.
Wajah itu … mata yang membelalak, salah satu bola matanya hampir keluar. Wajah itu, memang sudah agak berubah bentuk, kepala bagian kanannya mungkin pecah, hingga darah mengucur menutupi sebagian wajah.
Aku berusaha menoleh ke kiri. Memastikan lagi wajah yang menghadap ke arahku tadi.
“Prilly?” gumamku. Aneh, kenapa justru sekarang aku ingat namanya?
Aku memang baru mengenal gadis yang duduk di sebelahku di pesawat itu. Namun aku bisa mengingat bentuk khas wajahnya. Dengan keadaan tubuh dan kepala seperti itu, aku bisa memastikan, gadis itu sudah meninggal.
Bulu kudukku meremang. Aku baru menyadari kemungkinan banyak penumpang yang tidak selamat.
Aku mencoba lagi mengangkat kepala. Setelah berusaha sekuat tenaga sambil menahan nyeri, akhirnya aku bisa mengangkat kepala. Di hadapanku bukanlah pemandangan yang enak dilihat. Dalam temaram, serupa puing-puing pesawat yang sedikit berkilau tampak bertebaran di mana-mana. Di dahan pepohonan, beberapa bagian puing pesawat lebih besar terempas dengan posisi menukik menghujam tanah berselimut ilalang tinggi.
Tubuh-tubuh bergelimpangan di sekitarku. Tubuh-tubuh penumpang lain. Tepatnya, jasad mereka terserak di mana-mana tak jelas lagi bentuknya. Bahkan kulihat ada beberapa potongan kaki dan tangan tergeletak sembarangan.
Banyak mayat bergelimpangan di mana-mana I Ilustrasi oleh Hipwee
Apakah tak ada yang lain yang masih hidup juga?
“Hal … lo. Halo … A … pakah ada yang masih hidup?” tanyaku dengan suara terbata. Setelah beberapa menit tak ada jawaban, aku ulangi pertanyaan tadi dengan suara lebih keras.
Tolong, kumohon. Aku tak ingin sendirian di sini.
Bersambung
Baca yuk bab selanjutnya: Alone – [3] Bertahan