“Karena kakak gue itu beberapa menit yang lalu telepon, tanya-tanya tentang elo, Amira. Katanya lo kayak menjauh tanpa alasan dan suaranya kayak sedih gitu. Jadi, gue telepon elo buat tanya, apa ada masalah, Amira?”
Mendengar bahwa Andro sedih karena sikap Amira pada pria itu, Amira tidak menampik bahwa dia senang mendengarnya. Wanita itu semakin bingung dengan dirinya sendiri sekarang.
“Amira, kok lo diam aja?”
Suara Elara menyentak Amira. Dia menimbang-nimbang haruskah dia mencurahkan isi hatinya pada sahabatnya itu, mengingat salah satu cara mengurangi isi kepala ada membaginya dengan orang yang dipercaya.
Pada akhirnya, Amira tidak tahan. Dihelanya napas dalam, sebelum menumpahkan segala keresahannya. “La, gue boleh curhat nggak?”
Terdengar dengkusan geli. “Nggak biasanya lo mau curhat pakai izin dulu, biasanya langsung ngomong. Ada apa? Boleh gue tebak lo mau cerita tentang Andro?”
“Iya,” aku Amira. “Sejujurnya, gue merasa iritasi sama Andro sejak dia bilang kalau dia suka sama cewek lain. Kesel aja gitu lihat dia, jadi gue … jaga jarak.”
Tidak ada balasan dari Elara selama sepersekian detik, hingga terdengar suara gelak tawa di ujung sana. Amira jadi ikut kesal pada sahabatnya itu. “La, kok lo malah ketawa denger kegalauan gue sih?” omel Amira.
“Lo suka sama Andromeda, kakak gue, Amira?” todong Elara. Kali ini, Amira yang terdiam. “Berarti sekarang lo officially jadi kakak ipar gue dong?”
“Kenapa lo mikir gue suka sama Andromeda?” Amira malah balik bertanya.
Masalah perasaan, Amira nol besar walaupun pernah sekali memiliki pacar. Mungkin karena pengalaman pertamanya berkencan sangat tidak menyenangkan dan berlalu singkat, hingga tidak berkesan.
“Karena Amira, lo cemburu karena Andro suka sama cewek lain. Ngaku lo!” Elara terkekeh. “Tapi, gue jadi penasaran siapa cewek yang kakak gue suka? Lo tahu nggak?”
“Mana gue tahu!” balas Amira ketus. “Tanya aja sama kakak lo!”
Bukannya sebal karena balasan Amira, Elara semakin terbahak kencang. Hingga tawa itu reda, dan Elara kembali bersuara. Menanyakan sesuatu yang membuat Amira berpikir keras, “Lo dan Andro kan hanya pacaran pura-pura. Setelah lo tahu kalau Andro suka cewek lain, apa yang bakal lo lakuin, Amira?”
“Nggak tahu.”
Hanya itu yang Amira sanggup jawab. Pikirannya terlalu rumit setelah mendengar kesimpulan Elara mengenai perasaannya pada Andro.
Pada akhirnya, Amira hanya mematung di balkon dengan telepon Elara yang sudah terputus. Ada dua pertanyaan besar dalam kepalanya sekarang: Haruskah dia melepaskan Andro karena pria itu menyukai wanita lain atau mempertahankan hubungannya dengan Andro karena Amira mengaku, dia sudah mulai menyukai pacar kontennya itu?
Amira memikirkan pembicaraannya dengan Elara | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
***
Obrolannya dengan Elara sukses membuat Amira terus berpikir. Saking lamanya, tidak terasa jam telah berganti, begitu pula hari. Sampai pada satu titik sebuah keputusan wanita itu ambil, menyudahi kebohongan mereka.
Amira memang munafik, dia menyukai Andro dan memiliki pria itu sebagai kekasihnya. Namun, hidup dalam kebohongan hanya akan menjadi mimpi indah dan ketika terbangun, Amira hanya mendapati kesedihan mendalam yang mungkin butuh waktu lama untuk sembuh.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 malam. Amira biasanya sudah tidur karena besok akhir pekan, tapi dia malah masih terjaga. Ada sebuah rencana dalam kepalanya, mengakhiri hubungannya dengan Andro malam ini. Saat pria itu setengah sadar, pastinya lebih mudah diajak bicara dan memberikan pengertian.
Segera diraihnya ponsel di meja kerjanya, kemudian menelepon Andro. “Andro,” sapanya begitu mendengar suara halo yang serak di ujung sana.
“Amira,” balas Andro. Pria itu menguap sesaat. “Ada apa, Ra, kok telepon malam-malam? Lo di apartemen, ‘kan?”
“Iya, gue di apartemen,” jawab Amira jujur. Setidaknya dia tidak mau membuat Andro panik karena tiba-tiba ditelepon tengah malam. “Gue … mau bicara, Ndro.”
Ada keheningan sesaat, sebelum akhirnya mendengar suara Andro menghela napas di ujung sana. “Ra, besok kan akhir pekan, gue bisa ke apartemen lo kalau memang lo ingin kita bicara. Jadi, bicara langsung aja, ya.”
“Nggak bisa.” Amira menggeleng tegas. Faktor lain dia menelepon tengah malam begini adalah karena dia tidak bisa menghadapi Andro secara langsung. Dia takut saat melihat wajah orang yang dia suka, maka keinginannya untuk berpisah jadi urung dilakukan. “Gue nggak bisa bilang ini langsung di depan lo, Ndro. Karena … gue mau mengakhiri hubungan kita.”
“Lo minta putus, Ra?” Nada suara Andro terdengar tidak tenang. “Kenapa? Kayaknya gue nggak melakukan kesalahan atau gue sebenarnya melakukan kesalahan, tapi gue nggak sadar? Ra, bilang ke gue, gue habis ngapain elo sampai lo menjauh dan tahu-tahu minta putus?”
Tanpa bisa dicegah, senyum Amira tersungging. Mendengar suara Andro yang kalut, ada kesenangan tersendiri di hatinya. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Lagi dan lagi, logika wanita itu jauh lebih unggul.
“Ndro, kita nggak officially pacaran, jadi sebenarnya kata putus nggak tepat,” ingat Amira. “Hubungan kita itu kerja sama antara dua orang dewasa, Ndro. Dan gue hanya mau mengakhiri kerja sama ini karena gue nggak mau jadi penjahat dalam kisah cinta orang lain.”
“Penjahat? Amira, gue nggak paham, kenapa lo jadi penjahat?”
Amira mulai gemas. Menyadari Andro tidak juga memahami maksudnya, mau tak mau dia harus menjelaskan.
“Andro, lo suka sama seseorang saat ini. Harusnya kalau lo suka sama dia, lo kejar dia sampai dapat, bukan malah stuck sama gue dalam hubungan aneh ini.” Amira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya lambat-lambat. “Gue berpikir lama dan gue menyadari bahwa kalau hubungan konten ini diperlama, semakin sulit bagi lo dan cewek itu untuk bersama. Andro, gue memutuskan hubungan ini karena demi kebaikan lo. Gue nggak mau merasa bersalah karena gue jadi penghalangan kalian.”
“Amira.” Nada suara Andro terdengar frustrasi. “Tunggu gue di sana, Ra.”
Tahu-tahu saja panggilan Amira diputus begitu saja. Wanita itu menganga, bingung dengan respons Andro yang di luar dugaannya.
Amira menelepon Andro tengah malam | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Hanya saja Amira tidak percaya Andro akan datang, lagi pula ini sudah tengah malam. Namun, jika pria itu benar-benar datang, apakah tujuan Andro ke sini? Memutuskannya secara tatap muka? Amira tidak siap.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: BUY ME A BOYFRIEND #6 – Already Sold Out!