Kepalang tanggung mengetahui rahasia terbesar Nash, Luna mencoba peruntungan untuk membuat transaksi yang menguntungkan. Akankah Nash bersedia untuk pertama kalinya tampil untuk interview dalam bentuk video? Atau lagi-lagi, Luna gagal menggapai cita-citanya?
***
Berkali-kali Luna menelan ludahnya kasar tatkala dia harus berhadapan langsung dengan Nash disebuah co-working space di bilangan Kuningan. Dia masih belum paham alasan Dimas membawanya ke tempat private berukuran sedang ini usai mengobati lukanya di klinik tadi.
Ringisan Luna lolos ketika nyeri pada lututnya terasa menyiksa. Dia menggeram sebal. Sebal akan keteledoran dan kesialannya minggu ini. Namun, tingkahnya seketika kikuk kala dia sadar bola mata Nash tengah mengamati dia dalam diamnya. Wajah lelaki itu tak lagi panik apalagi kesal seperti satu jam yang lalu. Bahkan dari auranya Luna yakin Nash pasti tengah menyimpan gondok kepadanya.
Tiba-tiba Dimas muncul dari balik pintu ruang meeting yang mereka sewa. Sambil membawa tiga gelas kopi, dia berjalan tergesa lalu duduk di hadapan Luna. Dari ekspresinya, pria bertubuh gempal itu tampak tidak senang dengan kehadiran Luna.
“Lo wartawan?” tanya Dimas tanpa basa-basi.
Luna mengangguk takut-takut. Matanya bergerak mencari keberadaan CCTV di langit-langit. Setidaknya dia masih memiliki bukti jikalau dua orang pria ini berani macam-macam dengannya.
“Kalian ini nggak ada takut-takutnya, ya. Udah gue bilangin, Nash itu cuma mau fokus ke model dan nggak akan mau ikut wawancara nggak jelas kalian,” kata Dimas tajam menyerahkan kopi pada Luna dan Nash. “Kalau kepo sama profesi Nash, bisa tanya ke gue. Masih aja ngeyel.”
Luna menarik napas dalam-dalam selagi menahan gelisah yang semakin lama membuat kepalanya mau pecah.
Namun, tak berbeda jauh dengan Luna, Nash juga nyatanya menyimpan gundah. Dia terlihat memandangi Luna dan perlahan menepuk bahu kiri manajernya. Kedua tangan Nash kemudian bergerak membentuk isyarat. Seakan paham maksud dari Nash, Dimas menggeram dan menepuk jidatnya.
“Di-a u-dah ta-hu?” tanya Dimas menatap Nash dengan kalimat yang seolah sengaja diperjelas.
Nash mengangguk pelan.
“Nash… Nash…. bertahun-tahun gue berusaha bantuin lo buat nutupin ini semua. Sekarang dengan gampangnya lo malah bongkar. Di depan wartawan lagi,” gerutu Dimas lesu.
Sementara Nash mengangkat kedua tangannya sambil mengatakan apa di depan Dimas.
“Enggak usah tahu,” sahut Dimas sebal kepada Nash. Dia pun menatap Luna tajam. “Ya udah, sekarang kita main simpel aja. Kamu minta apa untuk nggak bongkar masalah ini ke publik?”
Luna melongo, mata perempuan itu mengerjap cepat. Seolah gagal paham dengan maksud Dimas barusan.
“Mbak, Mbak. Kalau lagi diajak ngomong jangan bengong. Buruan jawab!” bentak Dimas sampai-sampai tubuh Luna menyembul saking kagetnya.
Nash menyentuh pundak Dimas dan menggeleng pelan. Perlahan dia mengetikkan sesuatu di ponselnya.
“Kamu butuh apa dari saya? Wawancara? Tentang apa?”
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
Manik Luna bergerak ke bawah, meskipun tahu bila dia tidak akan mendapatkan jawaban dengan melihat ke lantai Cafe yang berwarna cokelat gelap itu, setidaknya dia mencari ketenangan di sana daripada harus ditatap tajam oleh dua orang di depannya.
“Hm… sebenarnya saya mau buat video liputan khusus dengan Nash. Untuk temanya bisa sesuai dengan profesi, motivasi, atau mungkin kehidupan pribadi Nash,” ujar Luna yang terdengar seperti gumaman di telinga Dimas. Lelaki itu mencibir. “Karena selama ini kan Nash terlalu tertutup dengan publik, bahkan orang-orang nggak pernah tahu gimana Nash berkomunikasi. Saya rasa orang-orang pasti nunggu momen itu.”
Alis Nash menyatu rapat. Dia pun menggeram sambil mengetuk meja meeting di depan mereka beberapa kali dan mengetikan sesuatu di ponselnya.
“Tatap saya, bicara yang jelas dan jangan cepat-cepat. Saya nggak senormal kamu!”
Suara mesin dari aplikasi di ponsel Nash, praktis membuat wajah Luna mendongak. Meskipun suara mesin itu terdengar datar, Luna yakin bila Nash jengkel dan tersinggung dengannya.
“Enggak. Saya sebagai sepupu sekaligus manajernya nggak rela jadiin Nash penglaris buat acara kalian!” bentak Dimas makin membuat Luna gelagapan.
Jantung Luna terasa tertohok mendengar ucapan Dimas, bukan karena dibentak oleh lelaki itu. Akan tetapi, hati kecilnya merasa setuju dengan ucapan Dimas. Menjadikan cerita pribadi seseorang sebagai lahan cuan.
Luna tersenyum kecut. Dia merasa semakin hina menjadi seorang jurnalis. Namun, ucapan Shafa kembali bermain-main di kepalanya. Sambil menghirup napas dalam-dalam, Luna menatap Nash dan Dimas.
“Saya baru akan tutup mulut kalau Nash mau saya liput. Gimana?” ancam Luna. Dia sadar, justru dengan tugas dari Shafa ini Luna bisa terbebas dari rasa bersalahnya.
“Kamu siapa berani-beraninya mengancam kami?”
“Saya wartawan Wazzup Selebrita dan saya punya rekaman tentang rahasia Nash,” ancam Luna tajam. Meskipun dalam hatinya dia gelisah bukan main sebab sebenarnya dia tidak memiliki rekaman itu.
Pelan-pelan kulit wajah Dimas memerah, dinginnya AC sentral di sana tidak mengurangi aura panas di dalam ruang meeting.
“Dia bilang apa?” tanya Nash menggerakan bibirnya ke arah Dimas sambil menunjuk Luna dan membalikan telapak tangan kanannya.
“Sa-ya tu-tup mu-lut ka-lau ka-mu ma-u sa-ya li-put,” terang Luna sengaja mengeja ucapannya di depan Nash. Lelaki itu pun menyipitkan matanya. Sekarang, ekspresinya tidak jauh berbeda dengan Dimas.
“Gimana? Saya tunggu keputusan kalian sampai besok. Ini kartu nama saya,” kata Luna sembari meletakan kartu namanya di depan Dimas.
Dimas menggeletukan giginya geram dan melirik sinis kartu nama Luna.
“Saya permisi dulu,” pamit Luna kemudian menenggak es kopinya dan menyabet tasnya keluar dari sana sambil berjalan pincang. “Dan terima kasih juga udah bawa saya ke klinik.”
“Harusnya lo biarin aja dia ketabrak di basement. Nggak perlu sok baik sama jurnalis kayak dia.”
Gerutuan Dimas terdengar di telinga Luna yang baru saja keluar dari ruang meeting. Kedua matanya tertutup rapat ketika kedua kakinya lemas seketika. Bukan karena kondisi lututnya yang masih nyeri, tetapi karena dia merasa tidak jauh berbeda dengan Tito yang mencari keuntungan dari masalah pribadi orang lain.
***
Sore itu, Luna termangu di atas meja kerjanya. Sudah dua hari dia tidak ikut meliput ke lapangan karena cidera di kakinya. Selama dua hari itu juga Luna masih belum mendapatkan kabar dari Dimas. Bahkan sudah puluhan kali, Luna mengecek layar ponselnya masih berharap Dimas menghubungi dia.
Namun, nol besar.
Tubuh Luna langsung tegak, ketika pesan dari Shafa muncul di layar ponselnya. Keringat dingin muncul di pelipisnya membaca pesan Shafa.
Mas Shafa_Produser :
Halo Lun, gimana? Udah dapat kabar dari Silent Romeo kita?
Kata Mirna lo hampir keserempet mobil?
Gue harap sih, kecelakaan kemarin sebanding sama berita yang lo dapat ya.
Luna meletakan kepalanya ke atas meja sambil merutuki kebodohannya. Sebab kecelakaan kemarin membuat dia lupa merekam Dimas dan Nash saat berkomunikasi. Tentunya rahasia besar Nash hanya akan menjadi rumor tak beralasan jika tanpa bukti.
“Freya,” gumam Luna seketika semringah. Dia lupa bila dia masih memiliki foto Nash di basement dengan Freya.
Segera, Luna mengobrak-abrik galeri ponselnya untuk mencari foto Nash. Namun, sebuah pesan lain di ponselnya mengurungkan niat Luna.
087871234xxx:
Saya Dimas.
Nash mau ketemu kamu besok.
Nanti saya kirim alamatnya.
Bola mata Luna membulat. Spontan dia bangkit dan berjingkrak-jingkrak bak bocah berumur lima tahun yang diajak pergi ke Dunia Fantasi. Tak peduli dengan tatapan orang-orang di sana, juga kondisi lututnya yang masih nyeri.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: The Silent Romeo #4 – Nash the Almighty