#KesehatanMental – 9 Fase Quarter Life Crisis yang Sempat Membuatku Insecure, Apakah Wajar?

Tahapan Quarter Life Crisis

Membahas Quarter Life Crisis (QLC) mungkin sudah akrab di telinga anak muda zaman sekarang. Quarter Life Crisis sering dianggap sebagai suatu ‘penyakit’ yang menjangkit pemuda usia 20 tahunan dalam menentukan pilihan hidup. Begitu pula dengan diriku yang pernah hancur berkeping-keping karena gejala Quarter Life Crisis tiba-tiba datang tak terbayangkan sebelumnya.

Sebelum Quarter Life Crisis menerjang, aku merasa hidupku berjalan baik-baik saja dan terlihat begitu mudah. Yang ku tahu hanyalah menghabiskan waktu untuk belajar, bermain, dan mengeksplorasi dunia.

Namun nyatanya, setelah kesempatan belajarku di bangku perguruan tinggi telah habis. Seketika itu pula aku tersentak bahwa aku mengalami Quarter Life Crisis. Hingga pada puncak usia 23 tahun saat ini, aku tersadar bahwa Quarter Life Crisis itu wajar dialami anak muda! Dan inilah 9 tahapan Quarter Life Crisis-ku yang mungkin pernah kamu alami juga.

Advertisement

1. Dilema Menentukan Impian

Photo by Liza Summer on Pexels

Photo by Liza Summer on Pexels via https://www.pexels.com

Sesaat setelah lulus kuliah, aku dihadapkan kepada dua pilihan, yakni melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi pascasarjana atau mencari pekerjaan. Sesungguhnya aku ingin membangun mimpiku untuk selalu belajar dan belajar hingga tingkat tertinggi, yaitu S3. Sayangnya, karena keadaan finansial dan banyak hal, aku memantapkan diri untuk menjadi seorang pekerja.

2. Terjebak dalam Penyesalan Masa Lalu

Photo by Alex Green on Pexels

Photo by Alex Green on Pexels via https://www.pexels.com

Ternyata mencari pekerjaan tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi aku lulus ketika COVID-19 menyerang. Aku tidak hanya bersaing dengan sesama fresh graduate lainnya. Sebagai ‘Angkatan Corona’, aku juga harus mengakui kekalahan dari para karyawan berpengalaman yang terkena dampak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Advertisement

Alhasil, semakin lama aku menyesali diri ini. Mengapa dari dulu aku tidak memperdalam bahasa asing, memahami cara mendapatkan beasiswa untuk lanjut S2, mengikuti pelatihan kerja, membangun relasi, dan penyesalan-penyesalan yang lainnya.

3. Kegagalan Nan Kemalangan Terus Menimpaku

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels via https://www.pexels.com

Bukan satu dua kali aku mencoba melamar pekerjaan. Entah berapa kali jumlahnya karena aku sudah lupa sebab terlalu banyak. Mulai dari mengirim lamaran kerja via e-mail, langsung datang ke perusahaan, hingga mengikuti job fair. Tetapi hasilnya selalu gagal, gagal, dan gagal alias nihil.

Bukan berarti aku berdiam diri dan tidak mencari tahu kesalahan. Segala cara telah aku pelajari dan lakukan. Mulai dari memperbaiki CV, belajar wawancara kerja, hingga mengikuti seminar bagi job seeker. Namun hasilnya tetap saja, nol besar!

Advertisement

4. Abai Kesehatan Fisik dan Mental

Photo by energepic.com on Pexels

Photo by energepic.com on Pexels via https://www.pexels.com

Stress, frustasi, dan cemas sudah menjadi makanan sehari-hariku. Pernah merasakan self diagnose yang berujung pada kesehatan tubuh yang mulai melemah. Tidur tidak teratur, makan berlebihan, hingga overthinking yang tak pernah hilang. Membatasi pergaulan hingga dicap ansos (anti sosial).

5. Meyakini Kehidupan Teman Sebaya Jauh Lebih Sukses

Photo by Karolina Grabowska on Pexels

Photo by Karolina Grabowska on Pexels via https://www.pexels.com

Membuka media sosial yang pada awalnya untuk menghilangkan penat dan mencari kebahagiaan di dunia maya. Nyatanya justru kesedihan yang datang menghampiriku. Melihat teman-teman yang dulu bersama telah bahagia dengan pilihan hidupnya. Ada yang telah bekerja di perusahaan bonafit, melanjutkan kuliah di universitas terkemuka, hingga mendapatkan pasangan hidup.

Seolah-olah membandingkan nasib, mempertanyakan bagaimana bisa mereka lebih sukses? Sementara dulu semasa kuliah malas-malasan? Mengapa jalan mereka begitu mudah, halus, dan beraspal? Sedangkan aku harus melewati lembah, jurang, dan dihujani batu berapi? Iri dan dengki terus-terusan menggelayuti hati dan pikiranku. Hingga pada akhirnya berniat untuk istirahat bahkan meninggalkan media sosial selamanya.

6. Ingin Menyerah dan Menyalahkan Takdir

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels

Photo by Andrea Piacquadio on Pexels via https://www.pexels.com

‘Produk gagal’ adalah dua kata paling tepat yang menggambarkan diriku saat itu. Berkali-kali marah kepada Tuhan, mempertanyakan alasan mengapa aku dilahirkan. Menyangkal segala kesalahan yang telah dilakukan. Membayangkan diri ini jika terlahir dari keluarga kaya raya, pasti tidak ada kesulitan yang menghadang. Bahkan meminta Tuhan untuk segera mencabut nyawaku.

7. Pasrah dan Mencoba Bangkit

Photo by cottonbro on Pexels

Photo by cottonbro on Pexels via https://www.pexels.com

Karena terlalu lelah dan akhirnya telah terbiasa dengan keadaan. Pasrah adalah satu hal yang harus aku jalani. Tiada akhir jika diriku menyalahkan takdir yang tidak bisa kuubah. Yang ku bisa hanyalah sadar diri dan mencoba bangkit.

8. Berusaha Menerima Keadaan dan Mengambil Kesempatan Baru

Photo by Hoàng Chương on Pexels

Photo by Hoàng Chương on Pexels via https://www.pexels.com

Apabila dahulu visi dan misiku hanyalah huruf A, kali ini aku mencoba untuk mempersiapkan rencana B sampai Z. Walaupun kesempatan yang datang jauh berbanding terbalik dengan yang namanya passion. Tak mengapa, sebab aku merasa ini hukum alam, siapa yang kuat, dialah yang bertahan. Mencoba mengambil peluang yang ada dan beradaptasi dengan lingkungan baru.

9. Bahagia Versi Sendiri Tanpa Mebanding-bandingkan

Photo by Pavel Danilyuk on Pexels

Photo by Pavel Danilyuk on Pexels via https://www.pexels.com

Kata ‘sukses’ selalu berkaitan erat dengan Harta, Tahta, dan Jabatan. Orang dapat dikatakan sukses jika memiliki pekerjaan idaman mertua a.k.a PNS, memiliki rumah di usia 20 tahunan, dan berpangkat setara manager lebih cepat. Namun aku tersadar bahwa sukses itu dibangun oleh masing-masing individu. Dan tidak ada standar sukses yang mutlak. Sukses menurutku bukan soal uang yang berlebihan, tetapi cukup saja dan hati pun senang.

Aku yakin, setiap orang mempunyai timeline-nya masing-masing. Apabila hari ini gagal, bukan berarti besok aku juga gagal. Optimis menjadi modal utamaku untuk bangkit. Hidup bukanlah sebuah kompetisi dan tidak ada yang menang. Setiap orang akan berhasil dengan caranya sendiri. Just be your self!

Fase Quarter Life Crisis yang pernah kualami benar-benar membuatku terpuruk dan berada di titik terendah dalam hidup. Dulu aku membenci diriku sendiri karena gagal seperti bagian dari takdir hidupku. Namun kini aku menyadari bahwa aku tidak sendiri.

Banyak pemuda di luar sana yang juga mengalami. Bahkan mungkin saja kehidupan mereka jauh lebih berat. Dan yang terpenting, karena Quarter Life Crisis inilah, aku bisa belajar lebih bersyukur dan membentuk mentalku yang lebih kuat. Jadi, Quarter Life Crisis itu wajar!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Sebutir pasir pantai asal Probolinggo, Jawa Timur

CLOSE