#CerpenHipwee Untukmu, yang Sedang Menanti Tangisan Merdu

Nak, kami rindu akan kehadiranmu!

Sore itu, saat sebagian penduduk bumi menyaksikan keagunganNya sembari membagi rasa di bawah sinaran senja, Aku justru ditemani oleh linangan air mata. Sepertinya semesta meresonansi kecewaku dengan mengirim butiran air sedemikian derasnya pada bumi. Senja yang temaram berubah menjadi mendung, gemuruh, dan hujan yang lebat. Aku masih terisak di depan cermin dan memandangi diriku sendiri.

Advertisement


Nak, Ayah dan Ibu begitu rindu. Rindu sekali


"Sayang kenapa? Ko nangis?”, tanya suamiku dengan wajah yang begitu cemas. Ia menghampiri dan memeluk erat tubuhku sembari menenangkanku. Aku hanya mampu terisak di dada lapangnya.

“Mas, aku belum hamil juga” ucapku setelah kedatangan tamu bulanan yang sudah 3 hari tak muncul batang hidungnya. Lagi-lagi suamiku menenangkanku dan berkali-kali mengecup rambutku. Dengan senyuman khasnya ia memandangi wajahku,

Advertisement

“Sayang, nggak apa-apa. Yakin sama Tuhan ya sayang. Pasti ada waktunya. Kita kan masih bisa coba lagi”.

Aku tahu walau ia mencoba begitu tegar menguatkanku, tapi hati kecilnya pun merasa kecewa. Aku hanya bisa terisak. Masih di pelukan hangatnya, aroma tubuhnya justru membuat pikiranku mengingat hari-hari yang sudah kulewati bersamanya. Bagaimana ia begitu menanti malaikat kecil ada di perutku. Betapa ia sangat senang tatkala tahu bahwa tamu bulanan belum mengunjungiku.

Advertisement

“Sudah Jangan masak, sayang. Nanti kita makan di luar aja ya. Kamu harus banyak istirahat dijaga bayi kita”. Ia selalu memperlakukanku begitu ketika mendekati hari datang bulanku. Ia selalu mensugesti dirinya dan diriku bahwa kami akan melihat garis dua.


Nak, Ayah dan Ibu begitu rindu. Rindu sekali


Begitu rutinitasku dengannya tiap bulan. Menanti, berharap, dan kecewa kembali. Dua setengah tahun bukan waktu yang sebentar untuk menanti datangnya malaikat kecil di tengah keceriaan rumah tangga kecilku.

“Nak, kapan Ibu bisa bertemu denganmu, mendengar lisanmu memanggilku Ibu. Ayahmu sudah rindu ingin menguncir rambutmu, Nak” Tangis membuat mataku sembab dan tenagaku terkuras, hingga kantuk menyergap dan melelapkanku dalam pelukan malam. “Ibu….ibu….ibu”.

“Hei, Sayang, kenapa yang? Bangun sayang, ada apa? Sayang mimpi ya” Ucap suamiku menggoncang-goncang bahuku untuk membangunkan tidurku. Kepalaku begitu berat, mataku masih basah dan sangat letih.

“Mas, aku ko bisa tertidur? Kapan aku tidur mas? Aku nggak ingat.”

“Sayang kenapa? Mimpi apa? Tadi kamu ketiduran terus ngigau panggil-panggil nama Hifza”, tanya suamiku cemas.

“Tadi aku mimpi ketemu anak kecil mas. Dia manggil aku Ibu” Aku tak kuasa membendung air mataku kembali. Ia mengalir begitu deras tanpa ku komando. Walau sebenarnya mataku begitu letih.

“Kamu tidur sampai nangis begitu, Sayang. Aku nggak mau kamu kebawa pikiran terus. Sayang Percaya kan sama Allah? Kita pasti segera bertemu Hifza”

Aku dan suami memang telah menyiapkan sebuah nama untuk malaikat kecil kami yang begitu kami rindukan bertahun-tahun. Hifza Shakiera Medina, seorang perempuan yang mampu menjaga kesucian dirinya, pandai bersyukur dan diberkahi seperti kota Madinah. Ya, nama itu yang kami pilih untuk malaikat kecil kami. Kami memang begitu meninginkan anak perempuan.

“Mas, sayang sekali sama kamu sayang”, ucap suamiku menegaskan betapa ia begitu mencintaiku.

“Tapi aku belum hamil mas, apa mas mau ninggalin aku?”, ucapku dengan penuh tangisan. Jujur, sebagai perempuan meski suamiku adalah laki-laki yang sadar gender tetapi ketakutan akan kehilangannya lantaran aku belum memberikan keturunan masih ada.

“Sayang, Mas itu sangat mencintaimu. Sayang udah nemenin mas sampai sukses seperti sekarang. Kamu adalah diriku dan hidupku. Mana mungkin Mas ninggalin kamu” Ia terus menguatkanku.

“Ya sudah, yuk kita tidur lagi. Kamu harus tetap rileks pikirannya. Kita terus berusaha ya. Pasti ada waktunya”

“Kenapa ya mas, padahal teman-teman udah hamil tapi kita sampai hari ini belum juga diberi oleh Allah. Padahal kita udah berusaha”, ucapku dengan nada penuh kekecewaaan.

Suamiku hanya mengusap kepalaku tanpa berbicara sepatah kata lagi. Hari-hari menjadi sepasang suami istri yang belum dikaruniai keturunan hingga tahunan sepertiku terkadang begitu memilukan. Aku menjadi begitu sensitif terhadap perkataan orang lain bahkan hingga tayangan televisi sekalipun.


Nak, Ayah dan Ibu begitu rindu. Rindu sekali


“Ko belum juga hamil? Harus segera itu, ingat, keturunan itu penting. Siapa yang akan mendoakan kita nanti ketika telah tiada? Banyak loh suami istri yang rumah tangganya goyah karena belum ada keturunan”, ucap salah satu tokoh agama sepuh di dekat rumah kepada kami saat kami mampir untuk mengunjunginya.

Deg hatiku begitu sakit mendengar pernyataan itu. Kutahan laju air mata keluar dari pelupuk mataku.

“Sabar, Aku harus sabar”. Sepertinya suamiku mengetahui mimik wajahku yang merah padam menahan marah dan sedih. Ia pun pamit dan kami bergegas pulang menuju rumah.

Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas ke kamar, menjatuhkan tubuhku di atas ranjang dan terisak dalam pelukan bantal. “Mengapa harus aku Tuhan?”, teriakku sambil terisak.

“Sayang, maafkan Mas” Ucapnya sembari memeluk erat tubuhku dan ikut menangis bersamaku. “Harusnya Mas nggak usah ajak kamu ke sana. Maaf sayang, jangan diambil hati ya. Mas nggak akan ninggalin kamu. Kita hadapi semua sama-sama”.

Sejak awal, aku memang tahu suamiku adalah orang yang berhati tulus dan ikhlas. Ia yang menguatkanku selama ini. Melukiskan harap dan kalutku, menyibakan mendung di hatiku. Ia pasang badan untuk semua cibiran orang terhadapku atau terhadap dirinya sendiri sekalipun.


Nak, Ayah dan Ibu begitu rindu. Rindu sekali


Malam itu, kala semua mata telah terpejam dalam dimensi mimpi. Tatkala hewan malam telah mengaum menunjukkan keperkasaannya. Aku terbangun, tak ada suami di sampingku. Aku terkejut dan mencarinya.

“Kemana Mas ya?” gumamku dalam hati. Tiba-tiba kudengar sayup-sayup isakan tangis. Bulu romanku berdiri, kucari sumber suara itu. Dari balik dinding kamar kulihat Mas sedang duduk bersila di atas sajadah. Air matanya tumpah, tangannya menengadah, “Ya Allah, terima kasih kau beri kami kecukupan rezeki. Ampuni kesalahanku dan istriku, tuntun kami, dan anugrahi kami buah hati” isaknya semakin keras.

“Kami tak sanggup Tuhan. Kami lemah dengan ujian ini. Kami rindu sekali pada makhluk mungil yang menjadikan kami orang tua. Ya Tuhan, kami rindu”, lanjutnya dalam untaian doa.

“Nak, kami Rindu, lihatlah betapa Ayahmu sangat menantikanmu, begitupun dengan ibu” Ucapku lirih. Lalu kami menghabiskan malam itu dengan tangisan sendiri.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE