Indonesia Harus Belajar dari Skotlandia Bagaimana Seharusnya Memperlakukan Wanita

Bayangkan apa yang terjadi jika wanita yang tak beruntung terpaksa menggunakan kain?

Dilansir dari Republika, saat ini Skotlandia telah menjadi negara pertama di dunia yang menyediakan akses gratis dan universal ke produk-produk menstruasi. Pencapaian ini terjadi setelah gerakan selama empat tahun yang secara fundamental mengubah wacana publik seputar menstruasi. Aturan ini akan menempatkan kewajiban hukum pada otoritas lokal untuk menyediakan produk menstruasi bagi semua orang yang membutuhkannya.

RUU tersebut diperkenalkan oleh anggota Parlemen Skotlandia dari Partai Buruh Monica Lennon yang dengan suara bulat disetujui dengan menciptakan persyaratan untuk memerangi "menstruasi kemiskinan". Itu adalah sebuah istilah yang menggambarkan situasi di mana orang yang membutuhkan produk menstruasi tidak mampu membelinya. Aturan ini merupakan yang pertama di dunia. Pemerintah Skotlandia juga mendanai sebuah proyek di Aberdeen untuk memberikan produk menstruasi gratis ke rumah tangga berpenghasilan rendah serta empat juta poundsterling lebih untuk dewan melanjutkan peluncuran ke tempat umum lainnya.

Saya pikir, dalam berbagai aspek kehidupan manusia, Indonesia masih jauh dari Skotlandia, tentu saja. Terutama dalam hal kesetaraan gender. Kekerasan kepada wanita masih menjadi PR besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia, dan RUU-PKS tidak kunjung disahkan oleh anggota DPR yang terhormat karena dinilai rumit pembahasannya, tapi di saat yang bersamaan, anggota DPR malah mensahkan RUU Cipta Kerja yang kontroversial baik dari segi kecatatan produk undang-undang yang disahkan, hingga proses pembuatannya yang terkesan terburu-buru dan sejumlah kasus kekerasan yang menimpa rakyat yang mengkritik undang-undang tersebut. Tapi ada satu hal yang patut ditiru dan dipelajari dari Skotlandia, yaitu saat ini Skotlandia menjadi negara pertama yang menggratiskan produk menstruasi bagi wanita. Barangkali ini bisa langkah awal pertimbangan bagi para pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan hal tersebut.

Sebelum lebih jauh membahas tentang produk menstruasi yang dimaksud, saya akan mengatakan satu hal. Saya adalah laki-laki, dan tentu saja saya tidak akan memahami bagaimana sulitnya para wanita dalam menstruasi. Saya membuat tulisan ini karena kebetulan membaca status Facebook salah satu kolega saya saat berkuliah yang membagian artikel bahwa dia menginginkan kebijakan di Skotlandia ini suatu saat bisa terlaksana di Indonesia. Dan tentu saja, saya sudah meminta izin kepadanya untuk mengutip opininya dalam tulisan ini, dan saya pun tidak menyebutkan namanya dalam tulisan ini dengan alasan privacy.

Teman saya, dalam status Facebook miliknya mengatakan bahwa, bagi mahasiswi yang sedang kesulitan ekonomi, Ia harus berhemat, bahkan untuk sekadar makan. Dalam beberapa kesempatan, pacarnya yang sudah bekerja beberapa kali mentraktirnya makan karena Ia kesulitan ekonomi karena memprioritaskan untuk biaya kuliah dengan segala serba-serbinya.  Ia pun berterimakasih kepada pacarnya atas segala kebaikannya.

Menurutnya, harga pembalut memang hanya sekitar Rp 25.000 s/d Rp 40.000, tergantung ukuran dan merk. Secara medis, idealnya wanita harus mengganti pembalut sebanyak tiga kali dalam satu hari. Bahkan, bisa lebih dari tiga kali jika volume darah menstruasinya sangat banyak. Kira-kira dalam satu kali datang bulan, ia harus menghabiskan kira-kira 1-2 bungkus pembalut yang jika dirupiahkan adalah sekitar RP 60.000. Bagi mahasiswi sepertinya, nominal tersebut adalah harga yang sangat mahal.

Apalagi, di tahun 2020 ini dunia sedang mengalami kesulitan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan dan penghasilannya. Tidak sedikit wanita yang akhirnya seperti teman saya yang harus mengurangi pengeluaran untuk sekadar jajan makanan untuk memenuhi kebutuhannya untuk membeli produk menstruasi seperti pembalut.

Dilansir dari Republika, bahkan para siswi sekolah di India harus menghadapi krisis pembalut wanita karena tak bersekolah semasa pandemi COVID-19. Laman BBC melaporkan, sekolah-sekolah negeri menjadi sumber andalan para murid wanita untuk mendapatkan jatah pembalut. Hanya 35% dari 355 wanita yang masih menstruasi menggunakan pembalut. Sisanya, mereka menggunakan kain bekas saat menstruasi. Dan hampir 23 juta anak perempuan yang drop out dari sekolah per tahunnya, setelah mereka mulai menstruari.

Jika teman saya yang merupakan salah satu mahasiswi di Kota Bandung saja mengeluhkan hal tersebut, apalagi para wanita yang berada di negara dengan penghasilan rendah seperti India? Jangankan negara dengan penghasila rendah seperti India, bahkan negara maju seperti Korea Selatan pun telah menjalankan program 'Ambil jika butuh', yakni dengan menyediakan pembalut pada sebuah kotak kecil yang digantung di dinding toilet di stasiun kereta di Seoul. Dengan tulisan yang berbunyi, "Kepada perempuan tuna wisma, ini untuk Anda. Ambillah jika perlu."

Program  'Ambil jika butuh' di Korea ini sudah ada sejak bulan November 2017, proyek ini diujicoba selama tiga minggu di Yeongdeungpo Station di Seoul, dan banyak para tuna wisma menghabiskan waktu di stasiun itu. Dan dari contoh-contoh di atas, meskipun saya laki-laki pikir sudah saatnya kita ikut menyuarakan hal baik tersebut bukan? Kebutuhan akan produk yang higienis bagi wanita yang saya pikir hanyalah kebutuhan sepele seperti pembelian produk sabun, shampo dan pasta gigi, ternyata tidak bisa diraih semua orang. Terutama mereka yang berpenghasilan rendah seperti pekerja harian yang bekerja serabutan maupun para tuna wisma di luar sana.

Sebagai seorang laki-laki yang pernah bekerja di Instalasi Promosi Kesehatan dan Pemasaran salah satu rumah sakit di Kota Bandung, saya paham bahwa jika para wanita ini tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya saat mengalami menstruasi dengan akses produk menstruasi secara gratis atau cuma-cuma, akan menjadi masalah yang sangat berat.

Bayangkan apa yang terjadi jika para wanita yang tidak beruntung tersebut terpaksa harus menggunakan kain seperti yang terjadi di masa kolonial Belanda tersebut? Kain yang tidak higienis tersebut dapat mengundang pertumbuhan bakteri atau jamur yang dapat berbahaya bagi kesehatan area kewanitaan wanita. Bagaimana bisa para Ibu bangsa, yang kelak akan melahirkan dan mendidik para generasi penerus bangsa ini melakukan tugas mulianya, jika kebutuhan dasar akan produk kesehatan yang higienis tersebut bisa terlaksana jika kita semua tidak mengkampanyekan hal tersebut?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana Akun ini dikelola oleh beberapa admin