[CERPEN] Masuk Neraka Karena Menunggu, Masuk Surga Karena Menunggu

Seorang santri dan kisah menunggunya

Tidak seperti biasanya Rano mendatangi kantor pondok pesantren Al-Ikhlas tanpa disuruh Pak Kiai atau Gus Damar putranya Pak Kiai. Apalagi hari itu bertepatan pada malam minggu. Untuk apa mahasiswa arsitektur yang berkuliah di Jogja yang jarang pulang ke kampung -momen pulang yang sudah ditunggu- malah ke pondok. Apa tidak ada lagi kawan yang bisa diajak jalan-jalan menyusuri kota kelahiran dan melepas kangen? Lagi pula pondok malam minggu juga tidak libur, santri dan pengajar masih berkegiatan sampai tengah malam.

Advertisement

Malam Minggu itu rembulan bersinar terang dan mencapai bentuk purnamanya karena bertepatan dengan tanggal 15 Muharam. Seirama dengan itu, Pak Kiai juga sangat terang dan lantang menyampaikan materi ngajinya tentang kisah dialog para nabi. Cahaya rembulan dan suara Pak Kiai dari aula pondok malam itu berpadu serasi menghidupkan suasana di seluruh sudut kawasan pondok pesantren Al-Ikhlas.

“Setiap nabi pernah bertemu dengan nabi lainnya. Semua menyapa dan bicara baik-baik saja. Kecuali Nabi Musa pada saat itu yang berdebat dengan Nabi Adam,” terang Pak Kiai.

“Hei, kau Adam? Orang yang membuat manusia terlempar dari surga dan bikin mereka jadi celaka! Aku menunggu momen ini untuk mendapat jawabanmu,” Pak Kiai memperagakan ucapan protes Nabi Musa.

Advertisement

“Sebagai senior, Nabi Adam menanggapi santai saja, dong,” Terang Pak Kiai sambil memperagakan sanggahan Nabi Adam. Lalu Pak Kiai melanjutkan.

“Benar wahai Nabi Musa aku adalah Adam, manusia pertama yang diciptakan. Wahai Nabi Musa kekasih Allah, ijinkanlah aku menjawab pernyataanmu…”

Advertisement

Bruuuuummmmm…. bruuuum… brum… brrruuuummm…

Rano sampai di depan kantor (tempat berkumpul pengurus dan senior pondok) dengan motor honda butut warna merah miliknya. Lampu motornya yang berwarna kuning kusam merusak keindahan cahaya rembulan, sedangkan suara knalpot brongnya merusak suara pengajian Pak Kiai, khususnya di sudut kantor itu. Yang jelas cahaya dan suara motor Rano telah memecah konsentrasi Burhan yang sedang mengingat kembali ngaji tentang perdebatan Nabi Musa vs Nabi Adam itu sambil asyik dlosoran di lantai dengan muka yang tertutup peci.

“Kamu cah pondok senior, bukannya sudah pernah ngaji bab itu?” Celetuk Rano.

Ngilmu iku kudu diulang ben tetep iling, Kang. Eh, jebul Rano ternyata, sejak kapan koe sampai rumah? Apa Gus Damar memintamu kesini? Masalah kerjaan gambar bangunan madrasah yee?

Tanya Burhan sembari menaruh pecinya dan menyodorkan tangannya bersalaman.

“Dari kemarin, Bur. Aku kesini ngga disuruh siapa-siapa, dan bukan masalah kerjaan dari Gus Damar juga. Aku kesini pengen ngajak kamu, Bur,” Jawab Rano sambil menyalami Burhan.

“Kemana, Ran?”

“Penebusan dosa,”

“Dosa karena apa, Ran?”

“Menunggu,”

Sejurus kemudian Burhan langsung memakai peci dan langsung membonceng dibelakang Rano. Burhan merasa ganjal karena raut muka Rano sejak datang ke kantor pondok tadi sangat datar dan tidak kuasa menahan cemberut.

Kata Pak Kiai memasang muka cemberut artinya tidak ridho atas apa yang telah diberikan oleh Tuhan, tidak ridho atas rencana Tuhan dan tidak ridho atas takdir Tuhan. Oleh sebab itu memasang raut muka cemberut sangat dihindari oleh santri pondok. Biasanya kalau santri ketahuan Pak Kiai sedang cemberut, ia disuruh paksa melakukan istighfar di kuburan yang tidak jauh dari pondok mulai tengah malam sampai subuh. Mengapa di kuburan? Sebab di sanalah tempatnya orang menyesal.

Orang mati pasti menyesali perbuatannya saat hidup di dunia. Mereka senantiasa meminta dihidupkan kembali untuk memperbaiki perbuatannya di dunia agar mendapat ridho Tuhan. Karena bagi orang mati yang dalam keadaan beramal buruk, menunggu sampai hari kiamat dalam keadaan menyesal adalah siksaan yang sangat-sangat pedih. Itulah tujuan Pak Kiai menyuruh istighfar ke kuburan yaitu untuk mengayati orang-orang mati. Selagi hidup di dunia, puas-puaslah menyesali perbuatan dosa, minta ampun sama Tuhan, lalu memperbaiki diri.

“Heh, Ran, malam-malam gini kita mau kemana, mukamu cemberut gitu, mau ke kuburan ya? Ngapain ngajak aku,”

“Pemakaman, Bur,”

“Kuburan sama pemakaman apa bedanya, Kang Ranoooku sing ganteng dewe….”

“Kita ke Pemakaman Syech Maulana, tawassul, Bur, kamu ngga kangen sama kopi di kedainya Kang Agus yang di belakang pemakaman itu po? Aku mau ziarah dan doa minta ampun sama Allah bentar. Nanti kamu tunggu aku di kedainya Kang Agus. Rokok, kopi, jajan, makan dan apapun yang kamu ambil aku yang traktir. Setelah ziarah kita ngobrol santai di kedai in the sky,

Sekuuuuuut…. Eh tadi kamu bilang menebus dosa gara-gara menunggu ya? Menunggu apa? Menunggu siapa? Seberdosa apakah menunggu itu? Rhoma Irama aja malah ciptain lagu gara-gara menunggu. Sekian.. lama.. aku.. me.. nunggu.. untuk.. kedatanganmu.. Ha’e ha’e joss. He he he,”

“Halo, Rano…. Jawab dong. Halo halo,”

“Rano…”

“Rano Karnoo…. yah cemberut lagi arek iki. Yowis lah,

Sesampainya di area pemakaman Syech Maulana, motor Honda butut itu langsung diparkirkan di halaman belakang komplek pemakaman. Rano dan Burhan segera berjalan masuk lewat gerbang belakang, tanpa sepatah kata apapun terucap dari dua pemuda pondok itu. Burhan nampaknya tertular penyakit cemberutnya Rano.

Dengan muka cemberut, Burhan langsung berbelok ke kedai Kang Agus sambil berteriak memesan dua piring nasi pecel, es teh, dan kopi lalu berdiri di depan etalase untuk melihat-lihat rokok kesukaanya. Sedangkan Rano berjalan terus menuju ke tempat pemakaman Syech Maulana.

Sampailah Rano pada makam Syech Maulana yang berarsitektur khas kerajaan Majapahit dikelilingi pagar batu bata merah megah lengkap dengan gapura setinggi 2,5 meter. Merasakan suasana di area ini bagaikan memasuki lorong waktu menuju 600 tahun lalu di mana Kerajaan Majapahit sedang berjaya. Namun, konon makam ini lebih tua dari kerajaan Majapahit.

Banyak orang yang mengatakan Syech Maulana ini salah satu tokoh yang paling awal menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa. Rano memilih tempat berdoa di sudut paling dalam dari makam, selain untuk memberikan tempat kepada peziarah lain, Rano tidak ingin jika tangisnya pecah nanti akan mengundang perhatian pengunjung lain.

Di tempat yang ia cari itu, di sisi pojok kanan terdapat seorang yang memakai pakaian rapi hitam-hitam sampai ke penutup kepalanya sedang duduk diam. Di sisi pojok lainnya terdapat seorang laki-laki paruh baya yang sedang terbaring miring menghadap makam. Sebenarnya sudah biasa di tempat ini pengunjung sekalian menumpang beristirahat sampai pagi tiba, namun bapak ini nampaknya sudah terlalu lama menumpang disitu beberapa hari tidak pulang karena pakaian kaos hitam dan celana hitamnya terlihat sudah lusuh.

Rano sedikit berfikir dan akhirnya terpaksa ia memilih tempat dimana laki-laki paruhbaya itu terbaring pulas. Sekali lagi, agar rencana menangisnya kali ini tidak terdengar siapapun.

Sisi pojok makam tersebut agak sempit karena terdapat teralis besi pembatas makam, terpaksa si Rano bersila dengan pinggul tepat di muka bapak tersebut. Dimulailah do’a ziarah Rano dilanjutkan dengan istigosah, bermunajat dan mencoba mengutarakan kisah-kisah yang dialaminya. Air matanya sudah mulai menetes sampai ke  lengan jaket almamater jurusan yang dipakainya. Walau sekuat mungkin ia tahan, isak tangisnya sudah tak mungkin ia tutupi dari telinga peziarah lain.

Cukup lama ia bersila hingga lantunan istigosah para peziarah sudah mulai sepi. Kini Rano bercakap-cakap sendiri dengan isak tangis yang tak henti. Badan Rano mulai lemas dan gemetar. Namun, percakapannya dengan Tuhan semakin ia keraskan karena hanya ada tiga orang di area makam tersebut.

“Di hadapan makam para auliya’ ini Ya, Allah, aku memohon ampun, ampuni, ampuni kesombongan hambamu ini,”

“Kesombonganku, yang terlalu yakin bahwa dia kau hadirkan untukku,”

“Aku telah sombong karena mendahului takdir. Terlalu yakin bahwa cintaku untuk dia,”

“Aku berdosa karena menunggunya,”

“Aku selalu menunggu kedatangan dia, tidak terbesit niatpun menunggu dia karena Lillahita’ala, mengharap ridho-Mu,”

“Aku malah selalu memikirkan bagaimana memulai perkataaan pertama dengan dia, dan mengharap aku dipeluknya yang pada akhirnya tak pernah ku dapatkan itu, karena aku tidak berani,”

“Sungguh hinanya aku saat ini,”

“Setelah sekian lama hubunganku dengan dia terlalui, dan setelah sekian lama menunggu, kini kau bukakan realita takdir, bahwa dia bukan untuk menjadi pendamping hidupku,”

“Ampuni, ampuni, ampuni dosaku dan dosanya, Ya Allah,”

“Aku ingat lanjutan kisah Pak Kiai, saat Nabi Adam mengatakan kepada Nabi Musa bahwa kejadian Ia memakan buah Kuldi bersama Hawa hingga mengakibatkan ia diturunkan dari surga ke dunia sudah lama terlulis oleh Mu, sudah engkau takdirkan bahkan sebelum Nabi Adam sendiri Kau diciptakan,”

“Sungguh Maha Besarnya engkau, Maha Berkehendak, Maha Pemberi Takdir Baik.”

“Kami sebagai mahluk hanya bisa merencanakan dan meletakkannya pada ridho-Mu. Dan tidak sepantasnya sombong dan terlalu yakin atas sesuatu. Kecuali yakin bahwa engkau Wujud,”

“Aku bertaubat Ya Allah, karena bab menunggu ini aku tidak ingin kau masukkan aku dalam neraka-Mu,”

“Ampuni, ampuni, ampuni dosaku dan dosanya, Ya Allah,”

Setelah kata terakhir itu isak tangis Rano semakin menjadi-jadi. Tertutupi suara angin malam yang pada saat itu juga sedang kencang-kencangnya. Kombinasi dingin dan suasana redup pemakaman membuat bulu kuduk siapapun akan berdiri.

Tiba-tiba dari belakang ada tepukan di pundak Rano.

“Nak,”

Tepukan itu membuat Rano yang sebelumnya sudah lemas karena tidak doyan makan  seharian sangat kaget dan tergeletak setengah tak sadarkan diri sehingga posisinya sejajar dengan bapak paruh baya dibelakangnya. Lalu sayup-sayup Rano mendengarkan suara dari belakangnya.

“Kenapa kau berdo’a seperti menganggap Tuhan tidak mudah mengampuni hambanya,”

“Ingatlah, nak, Allah Maha Pengampun. Persoalan sepertimu sudah biasa. Beruntungnya kau yang setia mengunggu dia. Apakah dia juga meninggal saat sedang menanti  lamaranmu?”

Air mata Rano semakin deras membasahi pipinya, terbayang sosok yang pernah ia cintai yang tak akan pernah dijumpai lagi di dunia. Badannya semakin lemas tak kuasa mengendalikan tubuhnya. Terbaring lemah tak berdaya.

“Jihad itu maknanya berjuang saat dilanda kesusahan. Jahada, yajhadu, jahdun, maknanya berjuang. Berjuang atas cinta, itu juga termasuk jihad,”

“Kondisimu ini banyak santri yang mengidam-idamkan. Barang siapa suka dengan seseorang, pacaran tak berani, ditahan tidak bisa, maka bila ia meninggal ia mati syahid,”

“Pun dengan semua orang yang kesusahan di dunia, apakah kesusahan karena ia miskin, apakah kesusahan karena kehilangan seseorang yang dicintainya, ataukah kesusahan karena menunggu,  selama ia tetap berjuang, dan mati dalam keadaan itu, ia mati syahid,”

“Kini telah terpenuhi syarat itu padamu, selanjutnya kau hanya perlu mati,”

“Jika orang misterius berbaju seba hitam didepan kita ini menghampirimu, berbahagialah! Karena kau akan diantarkan menuju kekasih hatimu yang belum sempat kau lamar itu,”

Suara dari laki-laki paruh baya itu berhenti, suasana mendadak sangat senyap. Air mata Rano semakin membasahi lantai pemakaman. Isak tangisnya perlahan berhenti dan semakin tenang karena Rano dalam kondisi setengah sadar.

Tiba-tiba orang misterius yang 3 jam lebih duduk tenang dihadapannya mendadak bangkit tegap. Ternyata ia sosok yang sangat tinggi dengan muka yang tidak jelas karena tertutupi kain hitam, ia menghampiri tempat Rano dan laki-laki paruh baya terbaring. Derap langkahnya sangat berat menggetarkan lantai pemakaman.

Semakin mendekat getaran itu dirasakan Rano semakin keras. Angin kencang datang menambah suasana mencekam dan Rano semakin ketakutan namun masih lemas tak berdaya. Tiba langkah terakhir tepat di sebelah muka Rano, guncangan kaki orang itu sangat keras. Rano tak sadarkan diri.

Angin berhembus semakin kencang dan orang-orang sudah beranjak pulang. Burhan kedinginan di Kedai Kang Agus. Dihadapannya, dua piring dan tiga cangkir yang sudah kosong mulai dibereskan oleh Kang Agus karena kedai akan ditutup. Jam sudah menunjukan pukul 3 dini hari.

“Ngga pesen wedhang lagi, tho? Aku udah mau beres-beres. Kamu ngga pulang nunggu apa?” Tanya Kang Agus.

“Si Rano, Kang, katanya ziarah sebentar, udah 4 jam lebih belum balik ke sini,”

“Eh, lha. Yo dijemput sana, paling ketiduran. Opo malah ndilalah mati… Haha,

Welah, Kang Agus, bercandanya jelek. Slekethep,

“Hayo, Ndang kono, dilihat,”

“Iya, Kang. Yaudah sekalian pamit,”

“Lha, fulus’ e,

“Oh iya mbayar. Wah rencana mau ditraktir Rano malah tekor mbayar sendiri,”

Mbayar sesok yo ra popo,

“Nggak, Kang. Kalo ada uang ngga boleh utang,”

“Shaap, Kang Bur. Hehe total ini itu tambah rokok jadi 45 ribu,”    

Setelah membayar Burhan langsung ke pemakaman Syech Maulana. Ia melihat Rano sedang terbaring berdempetan dengan seorang laki-laki paruh baya. Dengan sigap setengah agak kasar Burhan langsung membangunkan Rano seperti ia membangunkan sholat subuh anak-anak pondok.

 “Welah, memelas sangat anak ini, kayaknya habis nangis,”

 “Hoy, Ran, Ranoo…. Rano halooo,”

 “Bangun Rano, subuuuuuh, azan subuh,”

Rano akhirnya bangun dengan raut muka yang linglung dengan mata yang setengah terbuka.

 “Aku sekarang dimana, Bur,”

 “Ha, wes pekok arek iki. Di alam barzah. Selamat datang,”

 “Iya, po?”

 “Lha itu malaikat penanya udah datang,”

 “Hhaa,”

 “Ya enggak lah. Kowe di makam Syech Maulana iki, itu lho liat di depanmu. Masa ngga inget. Kenapa kamu kok bisa kaya gini?”

“Aku tadi dihampiri sama malaikat Izrail,”

“Hhaaah, ada-ada saja kowe Ran, Ranoo. Ayok pulang sekarang. Sholat subuh di pondok aja,”

“Oke-oke, alhamdulilah aku masih diberi hidup,”

“Eh bapak dibelakangmu itu siapa,”

“Aku ngga kenal. Dari aku kesini dia sudah tidur. Tapi dia sempet bisik-bisik ke aku,”

“Yowes, biarin aja ya. Kita langsung pulang pondok,”

Sesampainya di pondok Burhan dan Rano langsung mengikuti sholat jamaah subuh yang dilanjut dengan dzikir tiap hari Minggu pagi bersama anak-anak yatim. Di sana Pak Kiai yang memimpin dzikir itu dan mengajarkan doa Rasulullah yang artinya.

“Ya, Allah, berikan aku pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti yang lebih baik daripadanya,”

Siang itu Rano langsung balik ke Yogyakarta karena besok senin ia harus sudah melanjutkan kuliahnya. Di dalam gerbong kereta api ia bertemu dengan Efa, teman lamanya yang sedang berkunjung ke saudaranya di Jogja.

“Eh Rano, kamu Rano kan. Sudah lama banget ngga jumpa,”

“Wah, Mbak Efa ya, iya sudah lama banget. Gimana kabarnya? Kabar Ibu di rumah? Eh sebentar hapeku berbunyi,”

Ponsel Rano berdering ditelpon oleh Burhan.

“Halo, Assalamu’alaikum, bro Rano. Urgent ini. Kamu inget tadi pagi ada laki-laki paruh baya. Dia ternyata Pak Ridho warga desa sebelah,”

“Ohya, aku ngga terlalu kenal sih, tadi juga ngga terlalu perhatiin. Trus kenapa? Kok dia tidur di sana. Dan kowe kok tiba-tiba kabarin aku?”

“Kata orang-orang dia memang agak stres setelah tau anaknya hilang di Jakarta saat krisis 98, Anaknya itu seorang aktivis. Makanya ia selalu pakai-pakaian hitam dan bersepedah keliling kota. Kalo ditanya kenapa kayak gitu dia selalu jawab ‘aku nunggu anakku’,”

“Hhaah. Lha terus?”

“Dia meninggal di makam Syech Maulana, tepat dibelakangmu. Aku dikabari Kang Agus, tadi,”

“Innalillahi wa innailahi roji’un. Aku ngga nyangka Bur,”

“Ngga, nyangka gimana Ran?”

“Ternyata dia yang mati syahid. Dia akan masuk surga karena menunggu,”

“Hhaa, bicara apa kowe, Ran?”

“Yowes, Bur, Doakan aja. Makasih aku udah dikabari,”

Rano langsung melamun dan masih agak syok mendengar kabar dari Burhan. Tiba-tiba Rano ingat pada bisikan-bisikan dibelakang tubuhnya saat ia terbaring di pemakaman itu. Apakah itu pak Ridho sendiri yang mengatakan. Ataukah???

Sekejap kemudian lamunan Rano dikaburkan oleh celetuk pertanyaan Efa.

“Kenapa, Ran?”

“Eh, ngga kenapa-napa, tadi dikabari ada tetangga kampung meninggal,”

“Innalillahi wa innailahi roji’un. Udah tua ya?”

“Seumuran ayahmu. Eh maaf,”

“Ngga papa Rano. Udah lama kok ayah meninggal, kita sekeluarga udah iklhasin juga. hehe,”

“Ibu tapi sehat ya?”

“Sehat Ran, dia nanyain kamu terus lho. Kemana Rano kok ngga pernah main rumah lagi. Ibu nunggu kamu, Ran,”

“Iya, e, udah lama ngga ke rumahmu. Masih banyak kegiatan kampus,”

“Wah, di kampus sudah punya pacar ya?”

“Enggak, ah, belum punya. Fa. Hehe,”

“Yaudah, aku berarti juga boleh menunggumu, ya. Hehe,”

Deg! Dada Rano serasa ditekan. Senyum manis Efa dihadapan Rano mengingatkan sebuah doa yang diajarkan pak Kiai subuh tadi. Rano juga mendadak ingat, sekejap sebelum terbangun oleh Burhan pagi tadi. Ada sosok perempuan yang berkata pada dirinya.

“Ran, belum saatnya. Kamu belum saatnya. Aku masih akan menunggu ya. Hehe,”

“Bangun Rano, subuuuuuh, azan subuh,”

 

Selamat Hari Santri Nasional

Kang Rid

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE