Pendakian Gunung Prau, Pendakian Akan Refleksi Tentang Hidup

Mendaki gunung menjadi sebuah proses menemukan diri sendiri

Tentang Prau, itu pengalaman pertamaku mendaki gunung (Aku bersama 3 orang teman, yang notabene adalah pendaki sejati. Mereka mendaki gunung secara rutin). Itu pengalaman pertama aku berada di tempat dengan suhu dibawah 5 derajat celcius. Semuanya terasa baru bagiku, dan itu sempat membuat nyaliku ciut.

Advertisement

Kami menaiki gunung pada pukul 01.00 pagi. Perjalanan bahkan belum 10 menit ketika aku meminta untuk beristirahat. Sebagai orang yang biasa dikenal kuat dan sangar, hal tersebut terdengar sangat menyebalkan untukku. 10 menit kemudian aku merasa seluruh makanan yang ada dalam perutku seperti akan keluar semuanya.

Perasaan mual tersebut hanya dirasakan oleh aku seorang. Hal Itu menjadi semakin memuakkan. Makin keatas, kadar oksigen makin tipis, sedang dingin makin menusuk. Tenaga makin terkuras, sedang medan semakin curam.

Aku ingat betul, kami baru saja sampai di Pos 2 ketika aku sudah benar benar akan menyerah. Di kepalaku hanya ada pikiran untuk pulang. Di hatiku muncul perasaan menyesal karena terlibat perjalanan mengerikan ini.

Advertisement

Teman temanku tetap berupaya mengajakku naik ke atas bersama. Namun entah apa yang paling besar mengguruiku hingga aku akhirnya bangkit dari istirahat dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mungkin alam ikut andil dalam menyemangatiku.

Dan pilihan itu tidak salah. Menyerah terlalu cepat, bahkan lebih buruk dari mereka yang tak ingin mencoba (menurutku). Semakin lama ternyata aku semakin terbiasa dengan situasi dan kondisi yang ada.

Advertisement

Benar. Tubuh butuh penyesuaian diri dengan lingkungan. Adaptasi namanya. Semakin terbiasa tubuhku, semakin kuat juga mentalku, juga makin tinggi niatku untuk menaklukan maha karya Tuhan yang satu ini.

Pukul 04.00 perjalanan ini mencapai titik akhir. Kami hanya perlu beristirahat, mengisi perut, menghangatkan tubuh, sambil menunggu sunrise. Demikian ketika sang Mentari mulai menampakan wajahnya, kami mengabadikan moment sebanyak mungkin di atas puncak Prau, 2565 mdpl.

Dari atas gunung Prau, aku bisa melihat Maha Karya Tuhan lainnya. Awan awan bak selimut mengelilingi, gunung gunung lain, yang menanti diri untuk dipijak, dan tentu saja cakrawala.

Sama seperti rokok, mendaki gunung memiliki candunya tersendiri. Ada godaan sangat besar untuk mendaki puncak puncak lainnya, setelah kita berhasil menaklukan suatu puncak. Setidaknya itu yang aku rasakan.

Tak pernah aku sangka, sebuah kebetulan bisa mengubah hidupku, juga caraku memandang sesuatu. Sebelum mengalaminya sendiri, aku bahkan tak sedikit pun tertarik dengan dunia pendakian. Hingga seorang teman mengajak aku untuk mendaki gunung Prau, kata "mendaki gunung" memiliki definisi yang sama sekali berbeda sejak saat itu. Mendaki gunung tak sedekar "naik" dari bawah ke atas gunung.

Lebih dari itu mendaki gunung menjadi sebuah proses menemukan diri sendiri. Jarak dari bawah hingga ke atas adalah refleksi tentang hidup. Pendakian tersebut bukan hanya petualangan fisik, tetapi juga perjalanan spritual.

Segala sesuatu yang tejadi selama proses pendakian adalah guru yang akan mengajarkan banyak hal kepada para pendakinya. Keseluruhan hal yang terjadi bisa menunjukan kepada kita, how to be human being.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE