Puisi 1: Memeluk Harap
Ku tahu kau kalut
Ku tahu kau kemelut
Ku tahu kau takut
Ia menjauhkan dari yang terkasih, mengambil yang tercinta, mengheningkan semesta
Pertiwiku berduka!
Pertiwiku lara!
Pertiwiku merintih!
Dan pertiwiku pasti sedang berdoa!
Pertiwi, percayalah, semua yang koma akan menjadi titik
Semua yang tak terhenti akan mati
Pertiwiku, percayalah, kita akan kembali bangkit
Sinar fajar sudah terlihat di ufuk, kita akan kembali melempar peluk
Nelayan akan kembali ke dermaganya, petani akan kembali ke ladangnya
Pekerja akan kembali ke perantauannya dan kau Pertiwi, akan kembali memancarkan kedigdayaannya
Gegap gempita akan kembali mengudara, gelak tawa akan kembali isi suasana
Kini, manusia memang harus menepi dalam sepi nan sunyi
Sembari memperbaiki hati yang terkadang tak tahu diri
Sibuk memperkaya sendiri, merusaki milik bumi
Kini, manusia memang harus memikiri bahwa ia bukanlah yang tertinggi
Pertiwi, Percayalah, yang koma pasti akan menjadi titik.
Puisi 2 : Ironi di tanah sendiri
Hening tak bergeming
Kala yang tak bernyawa diusung dalam pusaranya
Mestinya begitu, tapi kini semua tak tentu
menggerutu sudah seperti candu
Semua berubah menjadi penuh amarah
Duka, lara, dan nestapa
Semestinya begitu, saat tubuhmu diangkut ke pusara
Namun apa, mereka menyambutmu dengan lucu
Teriak, memaki, mengutuki, seakan siap menghunuskan belati
Ingin melucuti bahkan menghampiri untuk menghancuri
Aih, lucunya manusia negeriku
Mereka matikan nurani dan hidupkan tirani diri di tengah situasi yang tak pasti ini
Betapa luluh lantah tumpah ruah segala gelisahku
Pikirku melayang menuju orang yang kau sayang
Si kecil lugu menatap nanar dengan penuh tanya "Mengapa mereka menolak jenazah Bapakku?"
Si Kecil lugu bertanya pada ibunya “Mengapa sanak saudara menjauhiku?”
Si Kecil lugu menikmati tangisnya dan berkata “Apa itu wabah dan hubungannya dengan kematian?”
Sungguh, lucunya manusia negeriku
Aih, Air mataku seakan ikut pilu, menetes mendobrak pintu kalbu
Mereka bertindak seperti serdadu yang berkejaran dengan waktu untuk memburu
Sesak, menyeruak, terisak
Apakah mereka tak punya hati? memprovokasi tiada henti
Memupuk ego diri dan mematikan akal budi
Sungguh, lucunya manusia negeriku
Lisannya mudah melontar caci, matanya memicing penuh arti, hatinya menikmati bangkai saudaranya sendiri
Ia tersungkur, harga diri keluarganya hancur, hati anaknya terbentur, namun kutahu disana kau mengucap syukur
Dipeluk kasih Sang Maha Pengatur
Sungguh, lucunya manusia negeriku
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”