Resensi Buku: Muslimah Feminis 'Penjelajahan Multi Identitas'

Muslimah Feminis : Penjelajahan Multi identitas

Judul buku yang tertera sudah mampu dipahami, bahwa buku ini menceritakan Muslimah yang berideologikan feminis. Buku yang ketara sekali penggunaan metode penelitiannya adalah metode penelitian kualitatif ini menyajikan kepada kita tentang seluk beluk penulis sebelum dirinya mengenal feminisme.

Advertisement

Perjalanan penulis dari kecil hingga tumbuh besar yang dipenuhi dengan berbagai unsur identitas dari identitas etnis, gender, agama, bangsa akan ditelusuri secara seksama.

Buku yang berisikan empat bab ini menggunakan kata aku yang selalu digunakan sebagai awal judul bab. Sebut saja bab pertama yang berjudul, “Aku dan Etnisitas”, lalu pada bab kedua, “Aku Sebagai Muslim”, dilanjutkan dengan bab ketiga, “Aku Sebagai Perempuan”, dan yang terakhir, bab empat, “Aku Sebagai Anak Bangsa.”

Dalam tiap-tiap bab yang ditulis terdapat beberapa judul-judul cerita. Hemat saya, setiap tulisan yang ditulis di buku ini tidak mengedepankan kuantitas halaman, karena setiap cerita berisikan 2-3 halaman saja yang artinya hanya 1-2 lembar.

Advertisement

Hal ini menunjukkan tipisnya buku ini. Namun, sekalipun tipis, buku ini sarat makna. Karena penulis berhasil menceritakan dirinya sendiri sembari mensisipkan fakta-fakta terkait yang sedang dibicarakan. Sehingga, sebagaimana metode penelitian kualitatif yang kita tahu, jenis cerita ini adalah bersudut pandangkan subyektif, namun pada dasarnya, dia obyektif menurut jenis penelitian ini.

Dalam bab pertama yang berjudul, “Aku dan Etnisitas.” Penulis mengawali ceritanya dari tempat asalnya, yakni provinsi Banten. Menurut hemat penulis, ke mana pun kita pergi, unsur identitas geografis tidak akan pernah luntur. Banyak sekali manusia di luar sana yang akan menghukumi seseorang yang berasal dari suatu daerah tertentu. Tidaklah mengherankan.

Advertisement

Penulis mengungkapkan bahwa di tempat tinggalnya, muslim adalah mayoritas. Keluarga batih penulis, yakni; ayah, ibu, nenek, serta mendiang kakeknya berasal dari kalangan ulama’.

Mendirikan sekolah-sekolah agama Islam tradisional dan mengurus sekolah itu sendiri adalah kehidupan keluarganya. Berangkat dari situ, dapatlah kita tahu, bahwa penulis adalah manusia didikan dalam ajaran Islam yang taat.

Di bab ini, kita akan disuguhkan dengan pertanyaan, mengapa identitas etnis adalah hal yang penting? Dilanjutkan dengan ceritanya mengenai sejarah Banten seperti: sejarah datangnya islam di Banten, asal mula provinsi Banten, sejarah kerajaan Banten, keragaman etnis di Banten, serta perselisihan yang terjadi pada kelompok muslim di Banten.

Cerita berakhir pada cerita pernikahan ayah dan ibu penulis yang dramatis, karena didasari pada unsur politik, awalnya.

Pada bab dua yang berjudul, “Aku Sebagai Muslim”, penulis mulai menceritakan kemuslimannya secara mendalam, di sini penulis menceritakan tentang proses dirinya mempelajari dasar-dasar agama, seperti buku yang dibacanya, diskusi yang dilakukannya yang mengakibatkan bedanya gaya berpikirnya dengan anak-anak seusianya.

Cerita berlanjut, saat penulis mulai berkenalan dengan ajaran wahabi karena majalah yang menjadi kiblat pemikirannya kala itu memiliki aroma Wahabi, sehingga jadilah penulis menulis tentang perkembangan wahabi. Lalu tentang pengalaman mondoknya di pesantren tradisional yang tidak lama, dipindahkan ke pesantren modern.

Cerita mulai menarik saat penulis menceritakan dirinya memasuki masa-masa setelah lulus dari pesantren, yakni memasuki dunia perkuliahan di IAIN Jakarta. Mengambil jurusan perbandingan agama sebagaimana pamannya, membuat penulis menjadi meluas pandangannya tentang Islam serta mulai berkenalan dirinya dengan agama-agama lain.

Prestasinya mulai tertoreh saat dirinya yang masih mahasiswa diundang ke Amerika untuk berdialog dengan para sarjana agama juga turut diceritakan. Cerita diakhiri pada pendapat penulis tentang Islam yang seharusnya.

Pada bab tiga yang berjudul, “Aku Sebagai Perempuan” pembaca akan diajak mengarungi lautan diskusi apik yang dilakukan penulis semasa mengikuti organisasi di perkualiahan. Saya melihat, bahwa penulis suka sekali menulis sesuatu dari dasar.

Beliau sering menulis sesuatu dari pandangan terdasar dirinya, baru lah menyeruak pada sisi-sisi lain. Seperti pada bab tiga ini, penulis mengawali tulisannya dengan judul tulisan, “Identitas Sebagai Perempuan.” Sebenarnya penulis tidak merasa terasing dengan identitas keperempuanannya.

Namun penulis merasa janggal karena amat sedikitnya nama-nama perempuan dalam perbagai aspek sejarah kehidupan, terutama ilmu pengetanuan dan agama. Menurutnya, bahkan, perempuan nyaris tidak disebut-sebut dalam dua wilayah ini (hlm. 74). Dari sini, sudah mulai terlihat, bibit-bibit tumbuhnya feminis akan muncul.

Cerita berlanjut, mengenai kekagumannya terhadap neneknya, yakni Siti Masyitoh, orang yang memiliki jasa penuh terhadap hidup penulis dari kecil hingga dewasa. Perjumpaan dengan feminisme terjadi kala dirinya mengikuti berbagai diskusi di organisasi yang diikutinya.

Penulis terlihat sangat tertarik dengan isu ini yang membuatnya banyak menulis, mendengarkan, mengkaji dan bahkan membuat suatu gerakan komunitas mengenai pemberdayaan perempuan.

Bagi penulis, pemahaman feminisme tidak menjadikan perempuan tidak menghargai laki-laki. Keberadilan hak dan suara lah yang ingin ditonjolkan pada pemahaman ini. Hal ini sangat disadari penulis saat berhadapan dengan keluarganya sendiri.

Banyak dari keluarga kyai yang masih mempraktekkan hukum patriarki kala itu. Menjadikan perempuan hanya mereka yang harus mengurusi sumur, dapur, kasur. Hal ini membuatnya sangat geram, namun dia sendiri tak kuasa mengubah meski hanya dengan berdiskusi dengan ayahnya.

Begitu terasa sakitnya, saat penulis dijodohkan dengan pria pilihan ayahnya. Penulis yang merasa tertekan dengan segala beban yang ada membuatnya jatuh sakit hingga pada suatu malam, dia meracau memaki ayahnya. Hal itu sontak membuat ayahnya terkejut dan mulai berubah sedikit demi sedikit.

Jodoh, impian, sekolah adik-adik penulis pun menjadi lebih lowong saat sang ayah menyadari betapa berkuasa dirinya sebagai laki-laki dan tidak mengindahkan peran perempuan.

Namun, penulis sendiri menyadari bahwa tidak semua bagian-bagian yang terdapat pada ajaran feminisme sejalan dengan agama Islam. Ada beberapa hal yang menurutnya memang tidak sejalan.

Ketertarikannya pada dunia feminisme membuatnya berhasil berkarir di berbagai tempat. Komnas Perempuan salah satunya.

Hingga akhirnya, dia bersama teman-teman organisasinya berhasil mencapai satu pencapaian besar, yakni diberlakukannya kebijakan pengarusutamaan gender dalam pelbagai sektor pembangunan pada era pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid. Cerita diakhiri dengan seluk beluk organisasi NU yang menjadi kawannya sejak kecil yang berubah dari tradisional menjadi organisasi modern pemikirannya.

Pada bab terakhir, yakni bab keempat, penulis menceritakan tentang pandangannya sebagai anak bangsa terhadap bangsanya sendiri. Tumbuh besar pada era pemerintahan Soeharto yang sarat dengan penutupan pendapat, kekerasan, kolusi, dll sebenarnya sudah membuatnya muak dengan isu-isu kepemerintahan.

Namun, secercah harapan mulai muncul saat era reformasi muncul yang mulai membuatnya dekat dengan beberapa orang-orang pemerintahan. Bab terakhir berjudul, “Aku Sebagai Anak Bangsa.”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

CLOSE