Setiap Pendaki Pasti Pernah Alay Pada Awalnya. Ngaku Aja, Lah ya…

Selalu ada awalan dari setiap hal, tak terkecuali dalam hal pendakian. Sebelum kamu menjadi seorang pendaki yang memiliki segudang pengalaman, fase ‘alay’ pasti pernah kamu alami. Iya kan? Ngaku aja deh.

Sekarang memang kamu boleh saja berbangga. Menjadi pendaki sarat pengalaman yang juga turut menjaga alam adalah hal memang patut kamu banggakan. Kamu juga sadar, bahwa semua butuh perjuangan panjang.

Namun, kamu jangan pernah lupa. Bahwa, kamu juga pernah mengalami masa-masa jahiliyah dan alay saat awal-awal mendaki dulu, yang kalau diinget-inget lagi, bisa-bisa kamu kesal sekaligus pengen ketawa sendiri. Yuk ah, nostalgia~

Sebermula dari gengsi, pendakian awal biasanya diniati karena nggak mau kalah dari yang lain

Bermula dari nggak pengen kalah sama temen. Gengsi.

Bermula dari nggak pengen kalah sama temen. Gengsi. via tommynovianto.blogspot.co.id

Akui saja, awalnya kamu mendaki juga karena dorongan dari temanmu, kan? Mulanya adalah gengsi. Tak sudi dipanggil sosok ‘nggak gaul’ karena belum pernah mendaki. Yah, tren pendakian memang pernah menguat di kalangan anak muda Indonesia kala itu.

“Ah, cupu! Traveling dong. Naik gunung dong. Belum sah jadi anak gaul kalau kamu belum jadi traveler!”

Predikat ‘anak gaul’ yang dipertaruhkan. Jelas saja kamu nggak mau kalah. Pada tingkatan pergaulan masa kini, mereka yang dianggap ‘nggak gaul’ akan disisihkan. Itulah yang jadi niatan awalmu mendaki. Biar nggak kalah dan nggak dianggap cupu oleh teman-temanmu. Sebermula dari gengsi itu, kamu memutuskan pendakian pertamamu.

Makin dimantapkan lagi dengan foto-foto yang kamu ambil. Menuliskan, “Hai… Kapan kita ke sini?” di kertas dan membuangnya sembarangan

Hasilnya jadi banyak sampah, kan....

Hasilnya jadi banyak sampah, kan…. via LiburMulu.Com

Iya, niatan awal gengsi itu semakin dimantapkan dengan foto-foto yang kamu ambil saat pendakian pertamamu. Banyak foto-foto selfie dengan background pemandangan gunung yang indah. Tak masalah memang. Namanya juga pertama kali mendaki gunung.

Namun, kealayanmu tercermin dari sampah yang kamu buang begitu saja di puncak gunung pertamamu. “Hai, aku udah di sini loh. Kapan kita naik gunung bareng?” kamu tulis di selembar kertas yang kemudian kamu tinggalkan begitu saja di atas sana. Alay!

Coba tengok koleksi foto-foto pendakian pertamamu. Kalau ada koleksi foto bertuliskan seperti itu, fix kamu pernah alay di masa lalu. Nggak cuma itu, selain kertas yang kamu buang sembarangan, sampah yang kamu hasilkan juga kamu buang sesuka hati kan? Udah deh ngaku aja, hehe.

Ambisi tinggi untuk mencapai puncak tak diimbangi dengan persiapan matang. Memilih gunung dengan medan berat walau belum pernah melakukan pendakian

Banyak yang demi gengsi jadi sok-sokan mendaki Rinjani.

Banyak yang demi gengsi jadi sok-sokan mendaki Rinjani. via arsiyawenty.wordpress.com

Belum lagi dengan ambisi tinggimu untuk mencapai puncak. Pendaki pemula yang didorong gengsi pasti akan memiliki gunung yang terkenal sebagai tempat dia mengabadikan momen pendakian pertamanya. Padahal, pengalaman mendaki saja belum ada.

Sebut saja Semeru atau Rinjani. Dua gunung iconic Indonesia yang selalu jadi serbuan pendaki Nusantara.

Kamu tentu tahu betapa sulitnya medan dua gunung tersebut. Rinjani dengan medan beratnya dan Semeru dengan trekking panjangnya yang menguras tenaga. Pendaki pemula seharusnya tak langsung memilih dua gunung ini sebagai tujuan mereka.

Namun, atas nama gengsi dan eksistensi. Banyak pendaki pemula yang memilih dua gunung ini. Demi mendapat foto apik untuk diunggah di media sosial milik pribadi, mereka tak peduli dengan hambatan yang akan menghadang. Persiapan yang kurang ditambah dengan belum adanya mental yang kuat di pendakian, membuat pendakian yang (menurutmu) keren itu justru terkesan terlalu ambisius. Semakin mentahbiskan kelabilanmu sebagai pendaki pemula.

Kamu bilang pecinta alam, tapi kelakuanmu dulu sangat nggak mencintai alam. Betul tidak?

duh alay

duh alay via klik.kompas.com

Mungkin ya, kalau kamu masih ingat, banyak hal merusak alam yang pernah kamu lakukan di gunung. Mulai dari memetik bunga edelweiss (sok-sokan biar digilai cewek-cewek) dan ternyata malah dibully banyak orang. Juga menggunakan odol ataupun sabun di Ranu Kumbolo ataupun Segara Anak. Kamu mungkin nggak ngerasa dulu, tapi pengalaman yang akhirnya mengajarimu. Jangan lupa, setiap kamu BAB kamu juga buang tisu sembarangan kan? Hehe. Bikin ranjau darat tau nggak?

Sepanjang pendakian mengeluh lelah dan ingin istirahat. Tapi gayanya sok-sokan kuat dengan caption keren di foto yang diunggah di Instagram

Dikit-dikit mengeluh kelelahan...

Dikit-dikit mengeluh kelelahan… via g4d4adventure.wordpress.com

Hasilnya, sepanjang pendakian kamu cuma bisa mengeluh saja. Baru setengah jam pendakian berjalan, kata ‘lelah’ sudah keluar dari mulutmu. Merengek minta istirahat sejenak yang justru itu menghambat teman-temanmu yang sudah punya pengalaman sebelumnya.

“Ji… Capek. Istirahat dulu, ya…”

Kalimat tersebut selalu kamu ucap sepanjang perjalanan. Bahkan setiap 30 menit berjalan kamu selalu mengucap lelah dan ingin istirahat. Akibat dari ambisi yang terlalu tinggi demi sebuah gengsi, kamu merepotkan teman-temanmu yang lainnya. Yah, dicap labil dan alay sih kamu harus rela…

Tapi tak apa, semuanya pernah ‘alay’ kok pada awalnya. Belajar dari pengalaman, kamu jadi lebih bijak menyikapi alam

Mencintai alam!

Mencintai alam! via alidesta.wordpress.com

Namun semua itu adalah kenangan yang tak terlupakan. Menjadi alay pada pendakian pertama adalah hal yang lumrah dirasakan setiap orang. Wajar karena kamu belum punya pengalaman. Maklum karena waktu itu kamu juga masih muda dan kepalamu dipenuhi gengsi semata.

Tentu kini kamu sudah nggak alay lagi. Pendakian pertamamu memberikan banyak hal untuk kamu syukuri. Setiap langkah yang kamu ambil sepanjang pendakianmu akan selalu terkenang sebagai bahan pembelajaran. Gunung mengajarkanmu soal cara menghargai alam. Bahwa alam harus dicintai dengan benar. Keindahannya harus dijaga dan tidak boleh meremehkan alam.

Dari yang awalnya alay, pendakian-pendakian yang kamu lakukan membuatmu jauh lebih dewasa. Kini mendaki tak lagi perkara gengsi. Melainkan perkara cinta kepada pesona alam Nusantara.

Yah, kalau mengingat-ingat pengalaman lucu dan sedikit alay ketika baru pertama mendaki dulu, pasti kamu saat ini tengah senyum-senyum sendiri. Tapi untunglah sekarang kamu udah nggak alay, ya. Semoga… Hehe :p

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat jatuh cinta, penyuka anime dan fans Liverpool asal Jombang yang terkadang menulis karena hobi.