Kisah Kalatimur #9 – Diorama Wajah Ibu di Akar Elephant

NAMAKU Kalatimur Merona, nama pemberian ibuku tercinta. Aku lahir di waktu sangat pagi, orang menyebutnya “waktu fajar”. Selamat kepadaku, aku lahir di keluarga yang penuh kasih. Namaku Kalatimur Merona, aku tak tahu … sepertinya nama ini begitu berharga bagiku. Nama ini selalu kudengar di setiap lantunan doa bapak dan ibuku, di waktu pagi, siang, sore, dan malam. Atau mungkin di setiap embusan napas mereka.

***

AKU tak begitu yakin, aku duduk di salah satu akar Elephant yang kekar. Karena seingatku, ia tak memiliki akar sebesar itu. Paling tidak, tak ada orang yang bisa duduk di akarnya, entah bagaimanapun posisi pantatnya. Lagipula, ini sore hari. Bagaimana mungkin aku bisa duduk santai menikmati senja yang begitu hangat? Karena seingatku, di jam seperti ini aku pasti berada di rumah, sekadar istirahat atau sudah membantu ibu bersih-bersih rumah. Terlebih lagi, mana mungkin aku seorang diri duduk di akar Elephant yang kekar di senja hari? Di mana murid-muridku? Di mana kawanan bebek yang kami pelihara di belakang Rumah Angkasa? Di mana para pekerja di gudang gula? Hanya embusan sepoi angin yang menjawab semua tanyaku, sambil lalu.

Kuamati lebih lekat, bukankah seharusnya Elephant gosong dan hancur sebab petir yang menyambar berulang kali saat … hah? Sejak kapan Elephant bersulur? Sejak kapan akar pohon mangga menjulai? Perhatianku kian tersita. Di kejauhan, tak kulihat sama sekali kehidupan. Hanya ada sebuah Elephant—ya, kuyakini demikian—diriku sendiri, dan Rumah Angkasa. Selebihnya, tampak seperti firdausi nan sepi.

Untuk sesaat, mataku terpaku pada sosok yang sedang turun dari rimbun dedaunan Elephant dengan anggun dan berayun sulur. Bukan tarzan, ia laik kusebut bidadari, karena pakaian serba putih dan menguarkan aroma wangi yang … tak asing. “Bu?”

Bu Timur!

***

KEPALAKU seolah ingin meledak, tubuhku sama sekali kaku, dan jangan tanya, mataku tetap terkatup entah dalam waktu berapa lama. Tapi aku masih bisa mendengar suara-suara: derap langkah orang-orang berlalu lalang, embusan napas yang begitu hangat di dekatku, dan sesekali isak yang seolah sengaja ditutupi sekuat tenaga.

Bu Timur!

***

ADA yang aneh dari tatapannya. Tapi dari bulat matanya, dari senyum tipisnya yang terkembang, dari lentik jemarinya melambai, dan dari aroma wewangiannya, aku yakin seyakin-yakinnya, ialah ibuku. Satu-satunya orang yang kukenali dengan sangat, dengan hangat. Kecuali sakitnya yang senantiasa ia sembunyikan hingga akhir hanyat.

Lalu kata pertama yang keluar dari mulutnya, menguatkan keyakinanku. Ibu!

“Kalatimur, anakku. Tanpa Ibu,” sosok wanita yang kuyakini Ibu itu mendekatiku sambil meneruskan tanyanya, “Seberapa jauh kamu mampu melangkah?”

Aku masih tak yakin dengan pertanyaannya, tapi aku yakin dengan sosoknya. Kehadirannya yang tiba-tiba, membuatku kembali ragu, mana mungkin Ibu turun dari sulur Elephant? Terakhir, seingatku, Ibu tak kuasa beraktivitas berat, selain membereskan rumah, memasak, merendam pakaian kotor yang kemudian kulanjutkan untuk dicuci, dan menyiapkan kopi untuk bapak, itu pun lebih sering aku yang melakukannya. Tapi berayun dari sulur pohon mangga? Mustahil.

“Tenang, Timur. Tak lain, tak bukan, ini Ibu. Ibumu, ibu dari empat anak cerdas yang sangat membanggakan.”

Tuhan mungkin sedang mengujiku, bagaimana bisa aku bertemu dengan ibu, sementara kami berada di alam yang berbeda? Atau inilah cara Tuhan mempertemukan kami, dengan menyatukan kami di alam yang serba indah? “Inikah surga, Bu?”

“Timur, di manapun kita saat ini, tidaklah penting. Yang terpenting, Ibu tahu keadaanmu. Bagaimana dengan murid-muridmu? Sudah mahirkah mereka membaca dan menulis?”

“Iya, mereka kabar baik. Aku juga. Tapi mereka, sebagian nakal, ada yang jahil, ada yang …” aku tergeragap menjawab tanyanya. Aku masih di ambang keraguan. Dari warna suara, dialek, gaya bahaya, lembut tuturnya, itu memang benar-benar milik ibu!

“Seru, bukan? Ibu yakin, kamu pasti sangat menyayangi mereka,” sosok yang kukira ibu itu seolah tak peduli dengan keraguanku. Dengan tenangnya ia menanyaiku dengan lemah lembut. Persis seperti Ibu.

Bu Timur!

***

INFUS yang menetes pun terdengar jelas di kupingku. Entak tetesannya langsung menembus jantungku, tajam dan keras. Belum lagi bebunyian alat medis yang juga berkerlip dengan selang-selangnya, yang rasanya berujung di tubuhku, yang tak kutahu istilahnya. Dengungnya pun menembus gendang telingaku. Kurasa, tak akan ada orang yang mampu melewati masa-masa sulit seperti ini. Kalaupun ada, ia pasti terbuat dari sebaskom ketabahan, segayung kesabaran, dan seember keikhlasan.

Bu Timur!

***

MURSAL, mungkin itulah kata yang tepat untuk menyebut sosok wanita yang berjarak sedepa denganku ini. Ya, pasti sosok serupa Ibu ini seorang utusan yang harus membuatku, entah bagaimana caranya, agar aku bisa merasa bertemu dan berbicara dengan Ibu.

Usahanya membuka keran percakapan di awal jumpa berbuah hasil. Aku kian percaya bahwa ia memang benar-benar ibuku. Terlebih setelah ia membelai mesra rambut panjangku yang lurus-jatuh persis sepertinya. Dari semua tangan yang kukenal, belaian jemari ibu memang paling beda. Ada kehangatan dan kasih sayang yang tak bisa digantikan dengan tafsiran filsuf manapun. Belum lagi binar matanya yang menyiratkan cinta paling sarat.

Rinduku pecah seketika. Aroma tubuhnya mengembalikan ingatanku bersama Ibu, saat kanak-kanak seusai mandi sore, kami berjalan menyusuri jalanan di kampungku, sekadar menyapa Pak RT, Bu Lurah, para pedagang, hingga pekerja di gudang gula. Demi kenangan agung yang urung kubuang dan kucederai, lantas kuceritakan kisah paling duka yang pernah kualami, ketika aku merantau jauh dari rumah.

“Tapi masih ada satu hal yang ingin sekali kuceritakan padamu, Bu. Sesuatu yang sangat mengganjal, yang tak sempat kukisahkan padamu. Mungkin inilah saat yang tepat untuk berkata jujur. Ihwal surat terakhir yang urung kukirim,” kurebahkan laraku di pangkuan Ibu, sembari ia belai lembut rambutku, seperti dulu.

“Timur, anakku, sebelum kamu mulai bercerita, Ibu sudah memaafkan semuanya. Jauh sebelum kamu meminta,” senyumnya terkembang, tulus.

“Tidak, Bu. Apa yang kulalui jauh dari Ibu, adalah sesuatu yang berat, yang barangkali Ibu pun tak akan sanggup melewatinya. Aku sudah di ambang gamang waktu itu, Bu. Tapi Dika, lelaki yang … ah, pasti Ibu mafhum, betapa berengseknya cowok di kota itu.

Saat lukaku masih merekah, kudian Leo datang menawarkan cinta yang lebih megah. Tapi nyatanya, perkenalan dan hubunganku dengan Leo, setali tiga uang dengan Dika, nyaris tak beda. Aku melewatkan banyak hal bodoh bersamanya.

Aku menyesal, Bu. Sungguh. Terlebih, aku tak sempat bercerita pada Ibu perihal masalah ini. Sesalku bertambah ketika aku tahu, sudah tak ada waktu lagi bagi kita untuk bertukar cerita. Maafkan aku, Bu.” Tak ada lagi yang bisa kubendung dari air mataku, kecuali rinduku pada ibu yang masih paripurna.

“Ibu kira kamu sudah cukup dewasa, Timur. Kamu sudah seharusnya paham yang terbaik dan terburuk untuk dirimu sendiri. Ke manapun kamu pergi, Ibu selalu percaya padamu, Nak,”

“Tapi, Bu. Aku telah mencederai kepercayaan dari Ibu, dan kini aku hanya bisa minta maaf dan menyesalinya,” tangisku pecah kembali.

“Tak jadi soal, anakku. Alangkah baiknya jika kamu memohon maaf pada Yang Maha Kuasa. Hanya Ia yang bisa kamu mintai segala pertolongan. Ibu? Hanya perantara yang Ia titipkan untuk menjaga kalian, anak-anakku.

Lagipula, Timur, apapun yang terjadi, Ibu tetaplah ibumu yang senantiasa memaafkan segala salah khilaf anaknya. Sekalipun marah, tak lain itu adalah bentuk kasih dan perhatian, Timur.”

“Ibu, aku …”

“Timur, kamu pasti bisa melewati semua rintangan yang ada. Ingat, Tuhan memberikan cobaan pada umat-Nya karena Ia tahu kamu bisa melewatinya. Ibu pun tahu, anak-anak Ibu tak ada yang lemah. Ibu bangga pada kalian!”

Bu Timur!

***

Bu Timur!!!

***

Kisah Kalatimur merupakan seri cerita bersambung dari Hipwee yang terbit setiap hari Jumat. Ikuti terus kisahnya dan temukan kejutan menarik di akhir cerita!

Baca episode sebelumnya di sini:

#1 – Musim Hujan Turun dari Timur
#2 – Sebuah Perkenalan, Sebuah Kebimbangan
#3 – Telur Mata Sapi
#4 – Kabar
#5 – Menertawakan Air Mata
#6 – Lelayu Dini Hari
#7 – Nelangsa di Lembah Duka
#8 – Berbenah, Pulang ke Rumah

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Senois.