Perlahan, Ivy meninggalkan semuanya. Dia melayang dalam ruang gelap yang hanya ada dirinya. Seperti inilah yang dia suka, sendirian. Seharusnya dia memang begini saja, meninggalkan orang-orang yang terlalu berisik di dunia. Sejak dulu, inilah yang diinginkannya, berada di tempat yang jauh dari tangan manusia yang bisa menyentuhnya, juga suara-suara yang sangat ingin menyakitinya. Sayangnya, dia harus tetap hidup. Dia harus kembali ke bumi untuk Delilah, satu-satunya alasannya untuk bertahan saat ini.
Ivy terbangun dengan perasaan yang tidak keruan; mual, pusing, dan sakit di bagian pinggangnya. Dia merengek sebentar, lalu mencoba berdamai dengan rasa sakit yang luar biasa ini.
Suara-suara itu masuk lagi ke telinganya. Dia terdiam. Waspada. Namun, dia mencoba tenang. Yang pertama kali dipikirkannya adalah anaknya. Dia berusaha berbalik untuk mencari anaknya.
“Delilah! Delilah! Delilah!”
“Hei … Mommy sudah bangun.” Suara laki-laki itu terdengar dekat.
Ivy berjingkat kaget sampai pinggangnya sakit lagi. Dia menjerit tertahan merasakan tusukan kuat pada punggangnya.
“Hati-hati! Pinggang dan kakimu cidera. Bukan cidera yang parah, tapi kamu membutuhkan istirahat karena ini. Kakimu di-gips karena harus beristirahat. Aku akan membawakanmu tongkat penyangga. Aku dulu pernah mengalami cidera juga saat bermain football. Mungkin, kita hanya perlu mengatur ketinggiannya saja,” jelas lelaki itu dengan senyum lebar.
Lelaki itu berjalan ke hadapannya sambil menggendong Delilah yang sudah berganti baju. Tangan anak itu dibalut perban dan pipi tembamnya berdarah. Sambil menangis, anak itu mengulurkan tangan padanya. Lelaki itu mendekatkan Delilah padanya agar dia bisa menyusui anaknya.
Ivy melihat lelaki itu dengan waspada. Dia Ben, lelaki yang dilihatnya di lift. Dia ingat sekali. Lelaki itu juga yang merangkulnya di jalanan tadi sampai dia terpaksa melompat ke jalanan. Ivy mencoba mengatakan pada diri sendiri kalau lelaki itu tidak salah. Lelaki itu hanya ingin membantunya. Ben bukan penjahat. Sekalipun sulit, Ivy mencoba memaksa dirinya menerima hal ini.
“Terima kasih,” kata Ivy pelan, sangat pelan.
“Tidak. Aku yang salah. Aku tidak tahu kalau kamu memiliki masalah dengan serangan panik. Aku baru tahu saat menanyakan hal ini pada perawat. Aku terlalu mendesakmu. Kupikir, kamu hanya tidak ingin dibantu.”
Ivy melihat ke tempat lain. Dia menarik tangan Delilah yang menarik kerah baju rumah sakitnya terlalu ke bawah. Tentu saja dia tidak enak menyusui dengan dilihat lelaki lain seperti itu walau di sini banyak orang yang memperlihatkan dada di tempat umum, terutama saat musim panas begini.
“Aku minta maaf karena membuka dompet dan tasmu. Aku mencari keterangan tentangmu, tapi tidak mendapatkan apa pun. Kamu tidak punya kartu identitas atau paspor.” Ben duduk di kursi yang agak jauh darinya. “Apa kamu baru kecopetan?”
“Tidak,” jawab Ivy yang berusaha tenang. Dia memikirkan hal yang sangat ingin dikatakan, tapi yang ada di pikirannya malah rasa haus. “Apa aku boleh minta minum?”
“Tuhan, aku bodoh sekali. Ya, tentu. Aku sudah menyiapkannya tadi. Aduh, di mana? Sial! Aku lupa. Maafkan aku,” kata lelaki itu sambil mencari botol minum untuk Ivy. Setelah mendapatkannya, dia menyerahkan botol minum itu begitu saja.
Ivy melihat lelaki itu dengan tatapan tidak enak. “Bolehkah aku merepotkanmu? Aku tidak bisa minum dengan cara seperti itu.”
Ben melihat botol air mineral itu, mencoba menerka maksud Ivy. Agak lama, baru dia menyadari kebodohannya. Botol air mineral itu masih tertutup segel dan Ivy tentu saja butuh sedotan untuk minum agar bisa minum sambil memberi susu pada bayinya.
“Maaf,” katanya sambil memberikan botol itu pada Ivy. Dia melihat ke samping agar tidak membuat Ivy merasa tidak nyaman.
“Terima kasih,” kata Ivy sambil mengembalikan botol yang sudah tersisa setengah itu pada Ben. “Bukan hanya untuk minuman ini, tapi juga untuk semua. Maaf, aku sudah merepotkanmu.”
“Tidak. Aku … tidak merasa direpotkan. Yah, sedikit mungkin.” Dia tersenyum canggung. “Aku tidak keberatan. Sungguh.”
“Aku tidak punya uang untuk membayar rumah sakit ini. Aku … aku juga tidak punya dokumen apa pun. Aku bukan illegal. Aku berani bersumpah. Aku datang ke Amerika dengan surat yang lengkap.”
“Lalu? Kamu kehilangan semuanya?”
Delilah melepaskan payudaranya. Ivy cepat-cepat menutup pakaiannya.
“Maaf,” kata Ben yang segera berbalik.
Sikap sopan ini yang membuat Ivy merasa nyaman dengan lelaki itu. Dia merasa yakin kalau saat ini dia bersama lelaki baik yang mungkin akan menolongnya. Perlahan, sambil melepaskan Delilah yang ingin turun dari tempat tidur, Ivy berusaha membuka diri untuk teman barunya.
“Aku Ivy Cantika dari Indonesia. Aku baru beberapa bulan di New York. Aku menikah dengan orang Amerika di Jakarta. Setelah anak kami cukup kuat untuk melakukan perjalanan jauh, dia memutuskan membawaku kembali ke New York. Dia menyimpan semua dokumenku dan aku tidak tahu ada di mana.”
“Kamu tidak ingin menghubunginya untuk bertanya?”
Ivy menggeleng. “Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Sampai kapan pun aku tidak ingin bertemu dengannya lagi.”
Ben menarik napas dalam-dalam. Dia memberikan senyum saja pada Ivy, tapi di dalam hatinya ada rasa bersalah yang dalam sekali. Luka yang sudah lama ditutupnya dengan tumpukan keloid-keloid mengerikan itu sekarang perlahan terkupas, memperlihatkan darah baru yang mengalir ke luar. Dia mengepalkan tangan melihat Delilah menghampiri ibunya, memberikan mainan boneka kecil dari hadiah toko kue yang diberikannya lagi.
Dia pernah melihat kejadian itu. Bertahun-tahun lalu, seorang perempuan muda tersenyum padanya saat anak perempuannya memberikan mainan boneka kecil yang baru diberikannya. Senyum yang seharusnya dia balas dengan senyum juga. Namun, dia malah mengerutkan kening, entah kenapa. Andai saja saat itu dia tahu kalau senyuman itu satu-satunya yang bisa dikenangnya seumur hidup.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: Ephemeral #4 – A New Way