Film Pendek “Tilik” Adalah Bentuk Nyata Serba-Serbi Kehidupan Kita Apa Adanya. Relate Banget!

Film pendek Tilik

Film pendek berdurasi setengah jam berjudul “Tilik” (2018) baru-baru ini memang tengah menjadi topik panas yang diperbincangkan oleh banyak warganet di berbagai media sosial. Dalam bahasa Indonesia sendiri, “Tilik” berarti adalah menjenguk. Sesuai dengan apa yang diceritakan dalam film satir penuh kekonyolan tersebut, “Tilik” rupanya memang sebenar-benarnya gambaran kehidupan sosial kita sehari-hari.

Advertisement

Setiap tokoh yang diperankan tiap adegan demi adegan yang ada, ternyata memang representasi dan serba-serbi bagaimana konyolnya kehidupan di kampung dari sudut pandang kaum ibu-ibu . Meski dikemas dalam bentuk yang begitu sederhana dan durasi yang singkat, “Tilik” sukses membuat kita merasa relate dengan segala hal yang digambarkan di film tersebut. Kayaknya sih pembuatnya memang sudah benar-benar berpengalaman menghadapi fenomena-fenomena semacam itu kali, ya~

Barangkali memang nggak terlalu dijadikan sorotan, tapi fenomena menjenguk tetangga yang lagi sakit dengan beramai-ramai naik truk dari kampung ke rumah sakit itu adalah kebiasaan yang lumrah terjadi di pedesaan

Kebiasaan unik ala warga pedesaan. via www.youtube.com

Ketika semua orang sibuk menyoroti bagaimana menyebalkannya sosok bu Tejo dalam film ini, kayaknya kok ada yang kurang gitu kalau nggak membahas tentang kenapa ibu-ibu ini memilih naik truk untuk menjenguk bu Lurah yang sedang sakit. Ya, jawabannya sesimpel karena memang seperti itulah kebiasaan wajar yang kerap terjadi di daerah pedesaan. Bukan kendaraan pribadi, bus dan truk justru sering kali dijadikan opsi utama untuk bepergian keluar desa secara ramai-ramai apa pun tujuannya. Mulai dari menjenguk orang sakit hingga agenda liburan.

Begitulah simbol kebersamaan yang dikemas dengan begitu sederhana ala kehidupan desa. Kita bisa melihat bagaimana gelak tawa yang tercipta di atas laju roda empat yang kerap dipakai untuk membawa barang-barang dalam jumlah besar tersebut. Jangan salah! Kebiasaan unik ini hingga sekarang masih banyak dilakukan oleh para penduduk desa lo.

Advertisement

Budaya rasan-rasan ini memang susah banget dihilangkan dari dulu hingga sekarang. Kalau ibu-ibu udah pada ngumpul, pokoknya ada aja yang dibahas

Rasan-rasan adalah passion. via www.youtube.com

Satu hal yang juga nggak bisa kita lupakan dari film pendek ini adalah bagaimana mereka menggambarkan fenomena rasan-rasan alias gibah dengan begitu apik dan juga natural. Seperti nggak melakukan akting di depan kamera, ibu-ibu ini dengan fasih melakukan hal tersebut layaknya berbincang satu sama lain di kehidupan sehari-hari. Alus banget!

Nggak dimungkiri lagi sih kalau kebiasaan toxic ini kerap kali terjadi di lingkaran pergaulan ibu-ibu di mana pun itu. Pokoknya kalau mereka udah jadi satu, ini yang benar-benar bikin pusing. Bukannya mau mendeskreditkan ibu-ibu, toh memang begitulah faktanya, kan? Apa yang diomongkan, ya, jelas bermacam-macam. Bisa mulai dari ngomongin kerjaan anak tetangga, nasib anak Pak RT yang nggak nikah-nikah, jualan warung tetangga yang dikira pakai penglaris, hingga segala macam tetek bengek lainnya yang terkadang nggak masuk di akal sehat.

Selalu ada orang kayak bu Tejo di setiap situasi. Bu Tejo adalah kita semua~

Advertisement

Sosok bu Tejo. via www.youtube.com

Sedikit menggelitik, namun memang begitulah nyatanya. Sosok seperti bu Tejo ini hampir selalu ada di kehidupan kita. Berasa nggak ada habisnya, pokoknya ada aja topik-topik yang dia jadikan bahan rasan-rasan sama temen-temen satu kumpulannya. Bisa dibilang bahwa bu Tejo ini adalah kita, ia adalah bentuk nyata bagaimana manusia selalu membicarakan manusia lainnya entah itu benar adanya atau nggak. Menjadi kompor adalah passion dan mungkin dijadikannya moto dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Sebaliknya, Yu Ning adalah sosok antitesis yang dihadirkan untuk menjadi pembanding. Kehadirannya mampu memberikan gambaran tentang berbagai macam tipikal ibu-ibu yang lagi ngumpul jadi satu, sekaligus memberikan pernyataan tersirat bahwa nggak semua ibu-ibu itu hobi ngomongin orang seperti bu Tejo.

Heran nggak sih sama bu Tejo dan Yu Ning yang berdebat sepanjang film, tapi masih ada aja cuplikan-cuplikan mereka sedang bercandaan? Begitulah romantika perseteruan ala ibu-ibu kampung. Sekarang debat, nanti kita sahabatan lagi~

Sosok bu Tejo dan Yu Ning. via www.youtube.com

Dari semua hal unik yang hendak ditunjukkan oleh “Tilik”, perdebatan bu Tejo dan Yu Ning yang sesekali dibumbui dengan konteks bercandaan ini menjadi salah satu yang wajib dijadikan sorotan. Lucu memang, bagaimana bisa orang-orang berdebat sebegitu sengitnya tapi masih bisa bercanda renyah satu sama lain. Namun memang begitulah kehidupan nuansa di kampung, bisa jadi hari ini kamu berdebat sama tetanggamu, satu jam kemudian udah bercandaan lagi.

Sisi lain yang patut diapresiasi dari film ini adalah bagaimana penggunaan bahasa Jawa yang begitu kental dengan logat khas ala orang Jogja sendiri. Tentu hal tersebut jadi warna unik tersendiri bagi “Tilik”, sebuah film pendek yang memang sudah seharusnya pantas mendapat penghargaan setinggi-tingginya dari publik.

Terima kasih bu Tejo telah mengingatkan kita bahwa bakal selalu ada orang-orang menyebalkan seperti Anda di kehidupan ini.

Terima kasih Yu Ning telah menunjukkan bahwa nggak semua ibu-ibu itu suka ngerumpi.

Dan, tentunya juga terimakasih pula untuk semua sosok yang ada di film tersebut karena telah menggambarkan senyata-nyatanya kehidupan sosial kita saat ini. Tabik!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Kadang menulis, kadang bercocok tanam

CLOSE