“Oh, iya, Pak. Saya mau tanya mengenai masalah Sasya,” mulai Muara membuka pembahasan baru.
“Iya, kenapa? Somasi udah dikirim lagi, ‘kan?”
“Udah, Pak, tapi … uhm … saya ragu.”
“Kenapa ragu?”
Muara menghela napas. “Apa Bapak yakin penerbitnya akan bayar uang royalti sahabat saya? Kalau dipikir-pikir lagi ini udah somasi kedua dan mereka nggak menanggapi sama sekali. Belum lagi penerbitannya bangkrut. Kalau mereka mengelak dengan bilang nggak ada pemasukan atau buku Sasya nggak ada yang terjual gimana, Pak?”
“Penerbit yang menaungi Sasya itu, ‘kan, imprint. Mereka masih punya penerbit utama dan masih jalan sampai sekarang. Kalau mereka berdalih nggak ada yang beli, mereka bohong. Soalnya Sasya sempat bilang masih ada beberapa orang yang beli sama dia secara langsung. Itu berarti ada yang terjual. Mereka nggak bisa mengelak. Kan, ada bukti Sasya membeli buku itu dari distributor si penerbit. Bukankah pembelian itu masuk laporan penerbit juga? Saya belum begitu paham cara kerja antara penerbit dan distributor ini. Tapi saya rasa distributor harus memberikan laporan kepada penerbit soal buku-buku yang terjual. Sasya harus dapat haknya sekecil atau sebesar apa pun itu nominalnya.”
“Iya, sih, Pak. Mana royaltinya enam persen.”
“Nah, itu. Enam persen dari hasil satu buku yang terjual. Kasihan dia. Biarpun nominal kecil, dia harus mendapatkan hak yang udah tercantum di perjanjian. Ada di perjanjian penerbitan pasal 7 yang mencantumkan soal pembayaran royalti tiga bulan sekali, tapi kenyataannya malah nunggak berbulan-bulan sampai dua tahun. Itu udah wanprestasi. Itu harus diperjuangkan.”
Muara mengangguk pelan, setuju dengan kata-kata Joval. “Kasihan, sih, dia. Mentang-mentang bukan penulis terkenal jadinya digituin. Dia sempat mau nyerah jadi penulis karena banyaknya pilih kasih, Pak.”
“Pilih kasih kayak gimana?”
“Jadi, Sasya cerita tentang bukunya yang lain di penerbitan berbeda. Dia merasa dibedakan gitu, Pak. Katanya kalau penulis terkenal terbitnya selalu didahulukan. Bukunya Sasya dientar-entar mulu. Bukunya pun dipromosiin seadanya, sampul bukunya juga nggak sebagus sampul penulis terkenal di penerbitan yang sama. Pokoknya serba minimalis,” cerita Muara.
“Mungkin mereka nggak mau pakai cara gambling. Semisal pakai sampul bagus yang harganya mahal seperti milik si penulis terkenal terus nggak laku, mereka pasti rugi. Cetak buku, kan, pakai modal. Mereka nggak mau rugi banyak. Hal kayak gitu udah hukum alam. Siapa pun yang terkenal pasti didahulukan, diperhatikan, dan disayang-sayang,” komentar Joval.
“Tapi bisa aja, Pak, penerbitnya bikin si penulis yang biasa-biasa aja menjadi terkenal. Iya, ‘kan? Jangan cuma menyayangi yang udah terkenal aja. Ada banyak penulis yang layak dapat perhatian juga.” Suara Muara mulai terdengar menggebu-gebu. Dia agak kesal mendengar perbedaan itu dari sahabatnya. Ekspresi kesalnya langsung ditunjukkan.
“Bisa, tapi nggak semua orang punya pemikiran yang sama kayak kamu. Nggak semua orang mau bersusah payah. Kalau ada yang menguntungkan, kenapa harus cari yang repot? Saya ngerti perasaan Sasya. Lebih baik dia sabarin aja dulu. Kalau nanti dia terkenal, blacklist penerbitan yang meremehkan dia. Dunia ini berputar. Saya yakin suatu saat nanti akan ada momen Sasya berada di atas dan mendapatkan kejayaannya. Jangan menyerah, itu aja kuncinya.”
“Benar, sih, Pak.” Muara setuju, manggut-manggut kembali. “Makasih banyak, Pak. Wejangan Bapak benar-benar akurat.”
Joval mengangguk pelan. Dia senang dapat mendengarkan curhatan Muara meskipun hanya sebatas tentang temannya yang penulis itu. Apalagi mendengar Muara mengeluarkan unek-uneknya soal pilih kasih yang diceritakan Sasya, dia bisa melihat dengan jelas Muara turut merasakan kesal dan sedihnya. Seandainya saja berani mengusap kepala perempuan itu, dia pasti sudah melakukannya sejak tadi.
“Bahas soal ini, apa nggak apa-apa kalau Bapak nggak dibayar? Sasya nanyain. Masa beneran gratis? Dia nggak enak, Pak. Apalagi kalau nanti sampai ke pengadilan, Pak. Berkas masuk pengadilan aja harus bayar.”
“Bilang sama Sasya, bayarnya pakai usaha dia biar bisa jadi penulis terkenal seperti J.K Rowling. Saya ingin bantu dia dapat haknya, jadi, nggak perlu dibayar. Urusan bayar biaya pengadilan, itu nggak mahal, kok. Nggak sampai jual rumah. Saya akan urus sampai masalahnya selesai.”
“Makasih banyak, Pak.” Muara spontan meraih tangan Joval yang berada di atas meja dan menggenggamnya dengan erat. “Pokoknya makasih banyak. Kalau Bapak nggak mau dibayar sama Sasya, biar saya yang traktir Bapak makan daging steak dan boba. Mau, ‘kan, Pak?”
Joval menurunkan pandangannya sekilas melihat tangan Muara yang menggenggam tangannya. Bukan deg-deg-an lagi, Joval ingin melompat kegirangan. Sayang saja dia tidak bisa melakukan itu dan hanya bisa memendam kesenangan hanya dalam hati saja. Selain senang digenggam Muara, dia senang bisa melihat perempuan itu tersenyum.
“Saya tunggu, ya, janji kamu.” Joval berpura-pura tenang dan cool seperti biasa.
“Saya nggak akan lupa. Sekali lagi makasih, Pak.”
“Iya, Muara.”
Pada saat yang bersamaan si penjual soto muncul dan berdeham agar Muara tidak menghalangi meja. Muara tersadar dan buru-buru menarik tangannya, sambil tersenyum canggung. Dua mangkuk soto pun mendarat dengan baik di atas meja bersama dua air mineral.
“Makan, ya, Pak,” ucap Muara.
“Iya, silakan.”
Baik Muara maupun Joval mulai menyantap makan siang mereka. Sesekali Muara mencuri pandang memperhatikan Joval, begitu pula sebaliknya. Obrolan mereka pun tertunda sebentar karena cita rasa soto yang enaknya luar biasa. Mereka menikmatinya sebentar dan barulah berbincang kembali setelah suapan mendekati akhir.
***
Hari ini rencana lain sudah diciptakan Muara dan teman-temannya. Rencana baru muncul atas ide brilian Tyas. Mereka memesan dua kopi dan memberikan dua kartu ucapan yang isinya diketik, lalu diletakkan di meja kerja Joval dan Amini. Beruntung saja dua orang itu belum datang jadinya mereka bisa dengan bebas meletakkan kopi di ruangan masing-masing.
Sembari menunggu kedatangan Joval dan Amini yang sama-sama terlambat, mereka pun mulai bekerja seperti biasa. Pasalnya pendiri yang lain sudah tiba beberapa menit lalu, hanya tinggal Joval dan Amini saja yang belum menunjukkan batang hidungnya.
“Mu, lo udah kerjain kesimpulan cerai Bu Marina?” tanya Tyas.
“Kemarin gue udah kirim ke Pak Joval. Semua udah oke,” jawab Muara.
“Gercep banget, deh. Gue aja masih belum nyelesaiin somasi.” Tyas menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi, merasa pegal. “Waktu kuliah lo makan mesin gercep kali, ya? Makanya datang selalu on time, kerjaan kelarnya cepat, apa lagi … ya?”
“Beda lah lo sama Muara. Dia rajin banget, lo males, Yas. Kerjaan nonton drama Korea mulu, sih,” celetuk Yayan meledek.
“Sialan!” Tyas mengambil kertas, mengepalnya sampai menjadi gumpalan bola, lantas melemparnya ke arah Yayan. “Sirik aja lo! Padahal lo sama gue nggak ada bedanya. Lo demen nonton anime sampai pagi.”
Karmen geleng-geleng kepala. Sambil tetap fokus mengetik kerjaan yang diperintahkan Amini, dia nyeletuk, “Kalian berdua sama, deh. Gimana mau jadi kesayangan bos kayak Muara kalau kalian malas?”
“Idih … kayak lo rajin aja, Sist,” cibir Yayan.
“Gue rajin, dong. Lihat, nih, gue lagi kerjain kerjaan. Biar Bu Ami nggak ngomel panjang kali lebar.” Karmen mengambil permen karet dari dalam lemari meja, mengunyahnya dengan santai, sambil tetap berkutat pada laptop. “Bahas soal Bu Ami, rencana kali ini dijamin bakal berhasil nggak?” tanyanya saat melihat Tyas.
“Percaya, deh, mereka bakal kesengsem dikirimin kopi.” Tyas menepuk dadanya dengan bangga, seolah yakin akan berhasil.
“Beneran?” sambung Amal tak yakin.
“Gue rasa, sih, berhasil. Soalnya kalimatnya manis gitu. Siapa yang nggak deg-deg-an?” sahut Muara.
Yayan menyela, “Lebih ke arah jijik, sih, bukan manis. Masa tulisannya sok puitis gitu. Bilangnya; “Kamu selalu cantik seperti bunga mawar dan aku harap kita bisa ngobrol berdua dengan tenang sambil menikmati kopi.” Apa lo yakin Pak Joval yang cool macam freezer bakal nulis kayak gitu buat seseorang yang dia suka?”
“Pak Joval pernah nulis begitu buat lo nggak, Mu?” bisik Tyas jahil.
“Si kampret satu ini. Masih sempet-sempetnya bercanda.” Muara berdecak kasar, memukul lengan Tyas sembari memelototi agar diam.
Tyas tertawa kecil. “Siapa tahu, ‘kan, dia kirim sesuatu yang manis kayak madu.”
“Bukannya itu rayuan basi lo, Yan? Kan, lo yang nulis. Kok, bego malah nggak inget?” timpal Karmen.
“Eh? Gue yang bikin, ya?” Yayan menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali, sambil tersenyum kikuk.
“Duh, belum tua banget udah pikun lo.” Karmen menepuk keningnya, tak percaya punya teman sepelupa itu. “Tulisan buat Bu Ami, lo yang buat. Kalau tulisan buat Pak Joval, itu Muara yang buat.”
“Oh, jelas. Itu Muara nulisnya dari hati paling dalam untuk Pak Joval,” bisik Tyas sekali lagi ke telinga Muara, meledek dengan gemas. “Gue yakin Pak Joval tahu itu dari lo, bukan mantan istrinya.”
“Ih … apaan, sih, lo. Suka nggak jelas.” Muara menggeser posisinya sedikit ke kiri mendekati Amal agar tidak digoda Tyas terus-terusan.
“Kata-kata Muara nggak puitis, tapi berasa nulis dari hati. Iya, nggak, sih?” Tyas melihat teman-temannya yang sedang melihat pada layar laptop. Beruntung ada Karmen dan Yayan yang menyahuti dengan anggukan kepala. “Isinya tuh manis; “Saya tahu ada banyak salah, saya harap kita bisa bicara dari hati ke hati. Saya harap kamu nggak menganggap ini bualan.” Benar-benar persis kayak Bu Ami nggak, sih?”
“Nggak, sih, soalnya Bu Ami galaknya minta ampun. Mana mungkin nulis kata-kata kayak gitu,” ucap Amal.
“Terus menurut lo tulisan mac—eh, udah datang yang kita bahas.” Tyas kembali melihat layar laptop, berpura-pura mengerjakan kerjaan yang tertunda.
Tak lama setelah Amini masuk ke dalam ruangan, ada Joval yang baru datang dan segera masuk ke dalam ruangannya. Muara dan teman-temannya memperhatikan pintu dua orang itu secara bergantian, harap-harap cemas dan tidak sabar menunggu reaksi keduanya.
Baru beberapa menit, Amini keluar dari ruangan. Kontan, Muara dan teman-temannya langsung menatap layar. Mereka berpura-pura serius mengerjakan pekerjaan hingga keseriusan itu lenyap setelah Amini mendekati tempat duduk mereka. Semua mendadak panik.
“Amal, kamu suka kopi, kan? Ini buat kamu. Saya nggak minum kopi. Anggap aja hadiah atas kerja keras kamu urus kasus kemarin. Kalau mau bagi dua sama yang lain juga boleh.” Amini meletakkan cup ukuran sedang berisi kopi americano di atas meja kerja Amal.
“Ibu beneran nggak minum kopi?” tanya Amal.
“Nggak. Saya nggak bisa minum kopi.”
“Oh, gitu. Makasih, Bu.”
“Sama-sama. Oh, iya, saya minta kronologi kasus pemukulan Pak Benny. Saya tunggu, ya.”
“Baik, Bu. Saya bawakan sekarang.”
Amini melenggang pergi. Sebelum masuk ke dalam ruang kerja, Amini lebih dulu meremas surat di tangan dan membuangnya ke tempat sampah. Muara dan teman-temannya melongo. Mereka tidak mengira Amini akan membuang surat ucapan itu.
“Dibuang, dong, sama Bu Ami,” ucap Muara pelan.
Pada saat yang sama setelah Amini masuk ruangan, ada Joval yang keluar dari ruangannya sambil menenteng cup kopi. Kebetulan ada Enigma lewat di depan pintunya dan Joval memberikan kopinya kepada Enigma. Sementara suratnya tidak tahu apakah dibuang di tempat sampah dalam ruang kerja atau disimpan. Joval pun mengikuti Enigma sampai ruangan laki-laki itu dengan tangan kosong.
Muara dan teman-temannya sudah melihat bagaimana akhir dari kopi yang diberikan. Mereka menghela napas. Rencana gagal lagi untuk kesekian kali.
“Ya, Tuhan … bisa nggak, sih, rencana berhasil sekali aja?” ucap Tyas penuh harap.
Amal bangun dari tempat duduknya sambil menenteng berkas yang akan diberikan kepada Amini. Dia pun menanggapi dengan nada pasrah. “Kayaknya, sih, itu bakal sulit. Kita harus cari cara yang lebih oke dari sekadar—eh, Bu Ami keluar lagi.”
Belum disapa oleh Amal, sosok yang dibicarakan pergi masuk ke dalam ruangan Enigma. Di dalam ruangan itulah semua pegawai mendengar suara Amini yang nyaring, kencang, dan menyakitkan telinga. Amini terdengar mengomeli Joval dan tentunya ditanggapi dengan nada yang tak kalah kesal. Mereka semua samar-samar mendengar soal kopi.
Tak mau ketahuan mengirim kopi, Muara dan teman-temannya langsung menyibukkan diri tanpa membahas apa-apa lagi. Setelah omelan Amini yang nyaring itu, mereka melihat Amini keluar dari ruangan Enigma dengan wajah kesal. Bahkan cara jalannya tidak santai dan terlihat menakutkan.
“Guys, wish me luck. Moga nggak kena semprot Bu Ami.” Amal takut setengah mati. Bosnya itu sangat galak. Dibandingkan dengan pendiri lain, Ami lebih kejam dan tidak peduli. Ada saat-saat tertentu Amal bisa kena semprot kalau mood Amini tidak bagus.
Muara mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya. “Semangat, Mal. Jangan lupa baca doa.”
Bersambung
Baca bab selanjutnya: The Love Case – Chapter 6