Situsinis; Penyakit Nyinyir Tiada Akhir

Udah tau belum? Sekarang ada penyakit baru lho?

Namanya penyakit “situsinis” alias nyinyir. Penyakit ini memang tidak mematikan. Tapi sangat mewabah, terjadi di banyak sosial media. Dan biasanya mengidap pada orang-orang yang gak bisa move on. Doyan memelihara kebencian, bahkan menyebarluaskannya. Pikirannya negatif mulu. Serem gak sih …

 

Ya penyakit situsinis. Penyakit yang tidak menular. Tapi berusaha ditularkan oleh pemiliknya. Situsinis, penyakit nyinyir tiada akhir. Kerjaannya mengejek atau menganggap rendah orang lain. Penyakit yang tidak mampu melihat kebaikan apapun. Selalu meragukan sifat baik yang ada pada diri orang lain. Duh, serem banget sih penyakitnya.

 

Denger musik dangdut nyinyir. Nonton lawakan yang gak lucu, nyinyir. Ada orang dandan, nyinyir. Ada Gubernur ngomel-ngomel nyinyir. Presidennya lagi kerja masih nyinyir juga. Kayak gitulah kira-kira penyakit situsinis; penyakit nyinyir tiada akhir. Nyirr, nyirr, nyirr …

 

Agak susah penyakit ini disembuhkan. Karena kebencian yang mengeras, membatu. Apapun yang dilakukan orang yang dibencinya pasti jelek di pikirannya. Pemimpinnya melakukan hal yang baik dianggap pencitraan atau riya. Pemimpinnya salah atau melakukan hal yang kurang baik, bukannya diingatkan, malah dihujat dan disebarluaskan kemana-mana. Ngerinya lagi, berdoa aja nadanya nyinyir. Coba cek aja di social media, tapi harus agak kritis bacanya. Serem dah ahh …. berdoa kok nyinyir.

 

Situsinis, penyakit nyinyir tiada akhir. Kapan akan berakhir? Entah kebiasaan, entah virus dalam diri. Agak sulit untuk dihilangkan. Seakan mubazir kalo tidak digunakan. Karena udah terbiasa nyinyir …

 

Terus gimana dong cara ngobatin penyakit situsinis alias nyinyir?

Duh, maaf obatnya saya gak tahu.  Tapi mungkin, obatnya ada di orang itu sendiri. Mau baik sangka atau buruk sangka. Husnudzhon atau su’udzhon. Itu saja. Cuma buat mengingatkan saja kok. Penyakit situsinis alias nyinyir tiada akhir punya potensi untuk hasad, iri dengki terhadap nikmat. Meragukan nikmat Allah. Padahal, apa yang dialami orang lain juga bisa terjadi pada diri kita. Apa yang dirasakan orang lain juga bisa kita rasakan.

 

Lalu, mengapa harus nyinyir tiada akhir? Kita juga belum tentu lebih baik dari orang lain kok.

Lha, kalo gue nyinyir emang masalah buat elo?

Ya nggak sih. Mau nyinyir terus boleh, gak nyinyir juga boleh. Itu pilihan kita kok. Tapi kalo apa yang dikerjakan orang lain tidak mengganggu kita, buat apa kita nyinyir. Iya gak sih? Gak bingits tauuu hehe…

 

Ya udah kalo begitu deh. Ini tulisan juga gak ada guna kok. Tentang penyakit situsinis; nyinyir tiada akhir. Mau terima syukur, gak juga gak apa. Daripada “berkicau” menebar kebencian lebih baik kita bekerja. Bekerja untuk “memberantas” yang kita nyinyirin agar bisa lebih baik lagi. Bersiap dan buktikanlah …

 

Sungguh, jauhilah penyakit situsinis. Gak perlu nyinyir tiada akhir. Toh, kita tidak lebih baik dari yang kita bicarakan atau kita dengarkan. Karena yang lebih baik di sisi Allah adalah apa yang kita amalkan, kebaikan yang kita kerjakan. Ciamik lagi … #StopSitusinis

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pekerja alam semesta yang gemar menulis, menulis, dan menulis. Penulis dan Editor dari 28 buku. Buku yang telah cetak ulang adalah JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, dan Antologi 44 Cukstaw Cerpen "Surti Bukan Perempuan Metropolis". Konsultan di DSS Consulting dan Dosen Unindra. Pendiri TBM Lentera Pustaka dan GErakan BERantas BUta aksaRA (GeberBura) di Kaki Gn. Salak. Saat ini dikenal sebagaipegiat literasi Indonesia. Pengelola Komunitas Peduli Yatim Caraka Muda YAJFA, Salam DAHSYAT nan ciamik !!

7 Comments

  1. istilah bagus nih…penyakit ini konon mulai mewabah sejak pilkada DKI dan Pemilu kemarin….

  2. Indah Salimin berkata:

    Mohon maaf, nyinyir dan sinis adalah dua kata yang sama sekali berbeda makna. Mohon cek KBBI.Terima kasih.