Kisah Kalatimur #8 – Berbenah, Pulang ke Rumah

NAMAKU Kalatimur Merona, nama pemberian ibuku tercinta. Aku lahir di waktu sangat pagi, orang menyebutnya “waktu fajar”. Selamat kepadaku, aku lahir di keluarga yang penuh kasih. Namaku Kalatimur Merona, aku tak tahu … sepertinya nama ini begitu berharga bagiku. Nama ini selalu kudengar di setiap lantunan doa bapak dan ibuku, di waktu pagi, siang, sore, dan malam. Atau mungkin di setiap embusan napas mereka.

***

Satu tahun lebih sudah berlalu sejak kepergian Ibu. Setelah lebih dari 5 tahun menyandang status mahasiswi, kini aku sudah resmi membawa pulang gelar sarjana.

“Selamat, Timur, Ayah bangga!”

Mendengar kalimat Ayah tersebut rasanya hatiku dibuat melayang. Bahagianya jauh lebih besar daripada saat aku jatuh cinta pertama kali pada Dika dulu. Namun sebahagia apapun yang kurasakan, aku tahu betul bahwa perjuanganku membahagiakan orangtua belum selesai. Aku belum tuntas jadi anak. Baktiku belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pengorbanan Ayah dan Ibu. Kalatimur harus bisa membuat mereka bangga!

Itulah yang jadi kekuatanku untuk berubah dan memperbaiki diri. Sejak meninggalnya Ibu, aku memperbaiki semua aspek dalam hidupku. Mulai dari memperbaiki jumlah kehadiran di kelas, menambal nilai-nilaiku yang sempat jeblok, hingga mulai mengisi kesibukan dengan menjadi guru les bagi anak-anak sekolah dasar.

Capek? Jelas. Namun entah kenapa lelah ini membuatku bahagia. Yah, meski pada akhirnya kelulusanku tetap molor satu tahun, tapi tak apa. Yang penting sekarang aku sudah menyandang gelar sarjana.

***

TUJUANKU selanjutnya, sama seperti tujuan kebanyakan fresh graduate lainnya, adalah mencari pekerjaan. Dan sama seperti nasib banyak sarjana muda lainnya, mencari pekerjaan itu tak semudah yang dibayangkan.

Aku memang bersikeras untuk tetap tinggal di kota ini. Setelah menghabiskan 5 tahun lebih di kota ini, entah kenapa rasanya sulit untuk pergi. Terlalu banyak kenangan yang sungguh sayang kalau harus dibuang begitu saja. Namun takdir seakan memberi isyarat bahwa aku harus pergi dari kota ini.

Di tengah kebingunganku setelah berkali-kali ditolak saat melamar pekerjaan, satu pesan elektronik masuk ke dalam kotak masuk akun e-mail pribadiku.

“Selamat, saudari Kalatimur Merona terpilih sebagai salah satu pengajar muda yang akan kami berangkatkan ke daerah terpilih dalam program pemerintah, Pengajar Muda Peduli Bangsa.”

Aku terdiam, air mataku mulai mengalir perlahan. Jika dulu air mataku ini menetes karena kesedihan yang kupendam, kini aku menangis karena bahagia. Segera kutelpon Ayah. Aku ingin memberinya kabar bahagia ini secepatnya.

Namun balasan yang kuterima tak sesuai dengan bayanganku. Kupikir Ayah akan bahagia anak perempuannya akhirnya mendapatkan pekerjaan. Namun yang ada, Ayah malah melarangku pergi.

“Yah, ini demi mendidik anak-anak di daerah tertinggal. Bukankah Ayah dan Ibu juga seorang guru? Toh cuma dua tahun, setelah itu Timur akan pulang dengan status sebagai pegawai negeri. Harusnya Ayah mendukung Timur mengejar cita-cita ini, bukan?”

Namun Ayah tetap kukuh pada pendiriannya. Ia menolak dengan alasan bahwa lebih baik aku mengajar di kampung halaman saja. “Kalau tujuanmu mengajar anak-anak di daerah kecil, ajarlah anak-anak tetangga kita di sini. Kampung kita ini juga tak kalah terpencil, Timur.”

Kalimat Ayah tersebut membuatku diam seribu bahasa. Aku tak mampu menjawabnya. “Ah, Ayah nggak ngerti!” teriakku dalam hati. Dengan diliputi rasa kecewa yang begitu mendalam serta air mata yang menetes dari pelupuk mata, kuikhlaskan kesempatan ini menguap begitu saja. Tertiup angin, jadi sekadar angan.

Dengan berat hati akhirnya aku memutuskan untuk pulang, menuruti kehendak Ayah menjadi tenaga pengajar di sekolah tempat Ayah dan Ibu dulu mengajar.

***

“TIMUR, kamu cepat tidur. Besok pagi kamu hari pertamamu mengajar loh.”

Mungkin Ayah tak tahan melihatku panik. Buku-buku bahan ajar berserakan di meja kamarku. Belum lagi kertas-kertas yang berisi coretan materi yang akan kuajar besok kepada calon anak didikku. Aku panik. Maklum, ini pekerjaan pertamaku setelah jadi sarjana. Meskipun sebenarnya hatiku tak menginginkannya, namun aku tetap ingin profesional menyikapinya.

Yah, paling tidak itu yang sangat ingin kuyakini. Kenyataannya, susah. Tak peduli seberapa besar keinginanku untuk pasrah dan menyerahkan diri pada keputusan Ayah, hatiku tetap berontak. Batinku tak tenang. Pikiranku tak karuan. Napasku mulai sesak.

Kurebahkan tubuhku pada kasur tipis dalam kamar. Di sela-sela kepanikan yang merisak malamku, kupandang meja belajarku yang berantakan itu. Tanpa sadar aku tersenyum.

“Pigura yang dibelikan Ibu ternyata lucu juga.”

Pigura berwarna merah jambu itu berhias wajah dari tokoh kartun favoritku. Hello Kitty. Si kucing putih yang menggemaskan. Di dalam pigura itu berisi foto keluarga kami. Ayah dan Ibu berdiri di tengah, diapit aku, kakak perempuanku, serta kedua adik kecilku. Dalam foto itu kami sekeluarga terlihat tersenyum lepas, seakan tak ada beban.

Kalau tak salah, foto itu diambil sesaat sebelum aku berangkat ke kota. “Kenang-kenangan buat Ayah dan Ibu di rumah,” begitu kata Ibu saat memintaku berpose di depan kamera. Sebenarnya aku enggan, namun apalah dayaku menolak permintaan perempuan yang sudah memberikan lebih dari separuh hidupnya untuk membesarkanku dan semua saudaraku. “Iya, ayo, Bu!”

Sebenarnya foto dan pigura tersebut ditaruh di ruang tamu. Mungkin maksudnya biar bisa dilihat semua orang. Namun sejak kepulanganku ke rumah, foto serta pigura Hello Kitty ini jadi hak milikku. Tak ada yang boleh mengambilnya dari dalam kamarku.

KRIIING~

Ponselku berbunyi. Lamunanku buyar. Kulihat siapa gerangan. “Kalahari Jingga,” kakak perempuan yang kini jadi sering menghubungi selepas Ibu tiada. Umurnya lebih tua 5 tahun dariku. Namun nasibnya tak lebih baik dariku. Meski memang pergi kuliah ke kota besar, namun kuliahnya tak tuntas. Permasalahannya ada pada biaya. Hingga akhirnya ia memilih untuk menikah 3 tahun yang lalu. Sekarang ia tinggal di luar pulau bersama suami dan kedua anak kembarnya yang lucu-lucu itu.

“Kamu masih marah ya diminta Ayah untuk mengajar di rumah saja?”

DHEG.

“Tapi Timur juga punya cita-cita! Timur juga harusnya punya hak untuk bahagia, Kak!” Kalimat Kak Jingga benar-benar tepat sasaran.

“Kakak paham, Timur. Tapi bukan begitu caranya. Hidup tak selalu menuruti apa maumu. Pergi menjauh dari kampung halaman kita tak akan membuatmu melupakan rasa sakit kehilangan Ibu. Pergi dari rumah tak akan membuatmu bahagia.”

Kata-kata dari Kak Jingga membuatku bingung harus berkata apa. Tepat sasaran. Rasanya kakakku ini berbakat untuk jadi detektif. Sialnya, kenapa harus aku yang jadi tersangkanya. Aku ingin mengelak sambil berteriak,“Kakak jangan sok tahu deh!” Namun kuurungkan. Aku lebih memilih diam, karena tahu apa yang Kak Jingga katakan semuanya tepat sasaran.

“Timur, bahagia tak akan kamu temukan dengan menjauh dari rumah. Kakak tahu kamu tengah merasa bersalah pada Ibu, karena itu kamu ingin menjauh dari rumah kita. Namun semakin kamu menghindar, rasa bersalahmu tak akan mungkin hilang.”

Aku terdiam. Kak Jingga benar-benar tahu alasan sebenarnya aku enggan pulang ke rumah. Rasa bersalahku pada Ibu terlampau besar. Seandainya aku tetap jadi anak berbakti yang terus berkirim surat dengan Ibu. Seandainya aku tak memilih kampus yang jauh dari rumah. Seandainya aku berada di dekat Ibu saat beliau mengembuskan napas terakhirnya.

Aku menangis sejadi-jadinya. Dan dalam tangisku, Kak Jingga masih terus memberikan nasihatnya.

“Cobalah untuk menemukan bahagiamu di kampung halaman. Turutilah Ayah dan mengajarlah dengan baik di sana. Lagipula, kamu akan mengajar anak-anak kelas 1 sekolah dasar yang masih lucu-lucu. Kakak yakin tak butuh waktu lama mereka akan bisa membuatmu tersenyum lagi.”

Kak Jingga menutup telponnya, bahkan sebelum aku sempat mengucap terima kasih kepadanya. Seketika aku kembali ke lamunanku. Membayangkan akan jadi seperti apa hariku besok. Namun aku kemudian tersenyum. Foto dan pigura Hello Kitty dalam kamarku mengingatkanku pada satu kalimat dari Ibu.

“Ibu sangat bangga kepadamu, Timur!”

Itulah kalimat terakhir yang diucap Ibu, dalam pelukan terakhirnya sebelum melepasku merantau ke kota.

***

Kisah Kalatimur merupakan seri cerita bersambung dari Hipwee yang terbit setiap hari Jumat. Ikuti terus kisahnya dan temukan kejutan menarik di akhir cerita!

Baca episode sebelumnya di sini:

#1 – Musim Hujan Turun dari Timur
#2 – Sebuah Perkenalan, Sebuah Kebimbangan
#3 – Telur Mata Sapi
#4 – Kabar
#5 – Menertawakan Air Mata
#6 – Lelayu Dini Hari
#7 – Nelangsa di Lembah Duka

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat jatuh cinta, penyuka anime dan fans Liverpool asal Jombang yang terkadang menulis karena hobi.