#KompetisiYoungMom-Menjadi Ibu Bahagia Sama Sekali Bukan Dosa

Jadilah Ibu Bahagia agar Anak Tumbuh Ceria

Menjadi Ibu adalah pekerjaan penuh waktu yang mesti dijalani seumur hidup. Sayangnya, tidak ada sekolah untuk mempersiapkan diri menjalani profesi mulia tersebut. Pola asuh yang kita terima cenderung berulang, termasuk kesalahan, serta luka diri yang kita bawa dari orang tua kita. Kondisi ini membuat banyak ibu lupa caranya bahagia dan kehilangan dirinya setelah memiliki momongan, begitu pun dengan saya.

Advertisement

Rasa cinta yang besar pada si buah hati telah menyerap semua energi, membuat saya selalu ingin memberikan yang terbaik kepada ananda, hingga membuat saya sering lupa diri. Saya kehilangan identitas sebagai pribadi, saya abai pada pasangan, dan menganggap rasa bahagia tanpa melibatkan anak-anak adalah sebuah dosa serta tindakan egois yang tak termaafkan.

Tak penting teori Ibu bahagia, yang saya tahu, saat itu, Ibu yang sempurna adalah Ibu yang membahagiakan anak-anak mereka dan mengesampingkan kepentingan pribadinya. Hingga akhirnya, satu kejadian membuat saya menyadari kesalahan terbesar saya karena telah menjadi Ibu yang tidak bahagia. 

Dua tahun lalu, saat putra pertama saya berusia dua tahun, rumah tangga saya mengalami goncangan yang cukup dahsyat. Proses saya dan pasangan sembuh hingga kembali menemukan cinta dilalui pasang surut dan badai yang timbul tenggelam. Kami berusaha berpegang pada janji pernikahan sekuat kami dan belajar dari kesalahan. Semua proses tersebut kami jalani masih dengan luka yang menganga dan sakit yang belum reda. Intinya, saya menjalani proses tersebut dalam kondisi tidak bahagia.

Advertisement

Mulanya, anak saya baik-baik saja. Ia adalah putra kecil yang ceria, suka berceloteh, dan bertanya tentang apa saja. Namun, di tengah masalah yang kami hadapi, anak saya tiba-tiba mengalami fase tantrum luar biasa. Ia yang biasanya mudah ditenangkan ketika menangis berubah total. Intensitas tangisannya meningkat, belum lagi jeritannya yang menyebabkan wajahnya memerah dan suaranya serak. Ia bisa bertahan menangis selama berjam-jam padahal sebelumnya ia adalah anak yang kooperatif dan cukup tenang. Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sama sekali tidak seperti ini! Melihatnya, saya tahu ada yang salah dengan anak saya, begitu pun dengan saya.

Saat itu, saya tidak bahagia. Dalam proses sembuh bersama pasangan, rasa takut, rasa tidak aman, rasa kecewa, dan sakit hati akibat kondisi rumah tangga yang sebetulnya telah berusaha saya sembunyikan dari putra saya ternyata percuma. Anak adalah cermin paling jujur yang dapat merefleksikan kondisi orang tua, terutama ibunya. Semua energi negatif tersebut diserap olehnya dan membuatnya turut merasa tidak bahagia.

Advertisement

Kesadaran akan hal tersebut menampar saya. Rentetan kejadian ini telah mematahkan semua keyakinan saya tentang konsep ibu yang sempurna sebagai ibu yang melakukan segalanya demi ananda. 

Setelahnya, hal pertama yang saya lakukan adalah berdamai dengan diri sendiri. Saya berusaha berproses sebagai diri, menyadari kesalahan saya, dan belajar memaafkan diri saya sebelum melakukan rekonsiliasi bersama pasangan dan juga anak. Semua hal yang menimpa rumah tangga kami, tentu terjadi akibat andil saya sebagai bagian di dalamnya, terutama karena saya lupa caranya bahagia. 

Setelah memiliki anak, saya tidak lagi merasa kebutuhan diri saya adalah yang utama. Kebutuhan pasangan pada diri saya pun sering saya anggap sebagai beban. Saya yang tidak bahagia telah membuat pasangan turut tidak bahagia. Semua tindakan yang saya pikir akan membahagiakan ananda dengan mencurahkan segalanya untuk dirinya malah menjadi bumerang dengan menyakitinya sedemikian rupa. 

Proses memaafkan dan membahagiakan diri sendiri telah melahirkan perubahan positif pada diri saya. Hal ini pun berdampak baik pada semua hal dalam rumah tangga. Jalan untuk pulih serta menguatkan hubungan dengan pasangan semakin mudah, kondisi anak tantrum pun berangsur turun. Ia kembali menjadi anak ceria, menangis sewajarnya tanpa jeritan berlebihan, dan mudah untuk ditenangkan.

Dari putra saya, saya belajar pentingnya membahagiakan diri sendiri. Tanpanya, mungkin saya akan menjadi pribadi yang congkak dan merasa telah menjadi ibu yang sempurna meski tidak bahagia. Saya mungkin akan menjadi sosok yang nyinyir saat melihat ibu lain bisa tetap berdaya dan bahagia. Terlebih, saya mungkin tidak akan menjadi diri saya saat ini yang berani keluar dari zona aman dan menuliskan kisah saya sebagai pembelajaran.

Inilah salah satu pengalaman paling berharga yang saya alami sebagai ibu, yakni belajar menjadi ibu yang bahagia agar anak tumbuh ceria. 

Ingat, Bu, menjadi ibu yang bahagia sama sekali bukan dosa!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

a lifetime learner, part time educator, and a freelance writer

CLOSE